1. Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya. (HR. Abu Dawud)
2. Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barangsiapa memiliki hati yang shaleh maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertakwa. (HR. Ath-Thabrani dan Muslim)
3. Barangsiapa memurkakan (membuat marah) Allah untuk meraih keridhaan manusia maka Allah murka kepadanya dan menjadikan orang yang semula meridhoinya menjadi murka kepadanya. Namun barangsiapa meridhokan Allah (meskipun) dalam kemurkaan manusia maka Allah akan meridhoinya dan meridhokan kepadanya orang yang pernah memurkainya, sehingga Allah memperindahnya, memperindah ucapannya dan perbuatannya dalam pandanganNya. (HR. Ath-Thabrani)
4. Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah maka Allah akan menyempurnakan hubungannya dengan manusia. Barangsiapa memperbaiki apa yang dirahasiakannya maka Allah akan memperbaiki apa yang dilahirkannya (terang-terangan). (HR. Al Hakim)
5. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi)
6. Agama ialah keikhlasan (kesetiaan atau loyalitas). Kami lalu bertanya, "Loyalitas kepada siapa, ya Rasulullah?" Rasulullah Saw menjawab, "Kepada Allah, kepada kitabNya (Al Qur'an), kepada rasulNya, kepada penguasa muslimin dan kepada rakyat awam." (HR. Muslim)
Penjelasan:
Artinya, patuh dan taat kepada penguasa dan pemerintahan (muslim) dan setia kepada rakyat dengan tidak merugikan mereka atau mengambil (mengurangi) hak mereka.
Selasa, 25 Mei 2010
Ikhlas dalam Bekerja
Ungkapan ikhlas sering kita dengar. Bahkan, hampir seluruh dai selalu menyampaikan makna ikhlas berikut manfaatnya. Makna ikhlas amatlah dalam, bahkan semua manusia tidak pernah tahu apakah dirinya ikhlas atau tidak. Seluruh ibadah menuntut keikhlasan nyata (totalitas) tanpa mengharap sesuatu (QS Yunus [10]: 105 dan Annisaa' [4]: 125).
Ketika ikhlas itu sudah terpatri dalam diri manusia, ia akan semakin tenang dalam menjalani hidup. Ia tidak akan pernah gelisah menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Karena, ia yakin, semuanya adalah kehendak Allah. Maka, ia pun tidak menuntut nilai, derajat, pangkat, dan kedudukan dari ibadah yang ia kerjakan. Hanya ridha Allah yang diharapkannya sebagai bekal kebahagiaan di dunia dan di akhir kelak.
Jika kita dituntut untuk selalu ikhlas dalam ibadah, demikian pula dalam bekerja. Ikhlas dalam bekerja adalah selalu berusaha menghidupkan lentera Ilahi di dada dan tidak mengharap balasan apa pun, baik di dunia maupun di akhirat. Salah seorang tabiin, Ruwaim, mengatakan bahwa ikhlas dalam berbuat amal adalah menuntut pelakunya tidak berharap apa pun akan dunia bahkan akhirat.
Seorang petani yang mulai pagi sampai sore bekerja tentu mengharap imbalan. Imbalan yang terbayang dalam hatinya adalah hasil panen yang memuaskan dan bisa untuk membiayai hidup keluarganya.
Seorang pegawai, yang selalu sibuk di kantor dari pagi sampai sore bahkan malam hari, selalu mengharap gaji yang cukup untuk anak istrinya. Apakah orang demikian tidak ikhlas? Kita tidak bisa memvonisnya demikian karena vonis terhadap manusia hanyalah kekuasaan Allah. Kita tidak mempunyai hak sama sekali untuk memberi keputusan yang kita tidak tahu hakikatnya.
Yang harus selalu kita lakukan adalah berusaha agar ikhlas itu terus ada dan menyala dalam diri kita, tak peduli di mana pun dan kapan pun kita berada. Karena, hanya dengan nyala ikhlas itulah, kita akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Petani, pegawai, dan semua profesi di dunia ini harus memiliki nilai ikhlas.
Keikhlasan tertinggi ditandai oleh semangat juang tinggi dan tak pernah meninggalkan Allah dalam setiap usahanya. Wajar jika seorang petani mengharapkan hasil panen yang memuaskan. Asalkan didasari oleh kebaikan dan hasilnya juga untuk kebaikan, insya Allah semuanya akan dihitung ibadah karena petani itu sudah mengikuti perintah Allah untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
Memang, ikhlas itu sangat sulit untuk dilakukan, apalagi untuk dipertahankan terus-menerus dalam diri kita. Sebab, hawa nafsu selalu mengelilingi manusia. Maka, cara yang paling efektif untuk membangun ikhlas dan memeliharanya adalah selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan: sedih, bahagia, kaya, ataupun miskin. Selain itu, tidak terlalu ambisius dengan gemerlapnya dunia karena itu hanya bersifat sementara.
Ketika ikhlas itu sudah terpatri dalam diri manusia, ia akan semakin tenang dalam menjalani hidup. Ia tidak akan pernah gelisah menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Karena, ia yakin, semuanya adalah kehendak Allah. Maka, ia pun tidak menuntut nilai, derajat, pangkat, dan kedudukan dari ibadah yang ia kerjakan. Hanya ridha Allah yang diharapkannya sebagai bekal kebahagiaan di dunia dan di akhir kelak.
Jika kita dituntut untuk selalu ikhlas dalam ibadah, demikian pula dalam bekerja. Ikhlas dalam bekerja adalah selalu berusaha menghidupkan lentera Ilahi di dada dan tidak mengharap balasan apa pun, baik di dunia maupun di akhirat. Salah seorang tabiin, Ruwaim, mengatakan bahwa ikhlas dalam berbuat amal adalah menuntut pelakunya tidak berharap apa pun akan dunia bahkan akhirat.
Seorang petani yang mulai pagi sampai sore bekerja tentu mengharap imbalan. Imbalan yang terbayang dalam hatinya adalah hasil panen yang memuaskan dan bisa untuk membiayai hidup keluarganya.
Seorang pegawai, yang selalu sibuk di kantor dari pagi sampai sore bahkan malam hari, selalu mengharap gaji yang cukup untuk anak istrinya. Apakah orang demikian tidak ikhlas? Kita tidak bisa memvonisnya demikian karena vonis terhadap manusia hanyalah kekuasaan Allah. Kita tidak mempunyai hak sama sekali untuk memberi keputusan yang kita tidak tahu hakikatnya.
Yang harus selalu kita lakukan adalah berusaha agar ikhlas itu terus ada dan menyala dalam diri kita, tak peduli di mana pun dan kapan pun kita berada. Karena, hanya dengan nyala ikhlas itulah, kita akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Petani, pegawai, dan semua profesi di dunia ini harus memiliki nilai ikhlas.
Keikhlasan tertinggi ditandai oleh semangat juang tinggi dan tak pernah meninggalkan Allah dalam setiap usahanya. Wajar jika seorang petani mengharapkan hasil panen yang memuaskan. Asalkan didasari oleh kebaikan dan hasilnya juga untuk kebaikan, insya Allah semuanya akan dihitung ibadah karena petani itu sudah mengikuti perintah Allah untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
Memang, ikhlas itu sangat sulit untuk dilakukan, apalagi untuk dipertahankan terus-menerus dalam diri kita. Sebab, hawa nafsu selalu mengelilingi manusia. Maka, cara yang paling efektif untuk membangun ikhlas dan memeliharanya adalah selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan: sedih, bahagia, kaya, ataupun miskin. Selain itu, tidak terlalu ambisius dengan gemerlapnya dunia karena itu hanya bersifat sementara.
Bekkerja Dengan Ikhlas
Telah sepuluh tahun reformasi digulirkan. Telah seratus tahun kebangkitan nasional diserukan, walaupun mantan ketua Muhammadiyah mengatakan terbentuknya Budi Utomo tidak layak dijadikan tonggak sejarah kebangkitan nasional. Telah lebih sepuluh tahun, bahkan hampir lima belas tahun, saya memasuki dunia kerja. Semua orang, termasuk saya, bekerja dan berkiprah di bidang masing-masing. Dalam bekerja selama periode tersebut, pasti kita menghadapi pasang surut. Adakalanya berhasil. Tidak jarang gagal. Minimal selalu ada kesulitan teknis dan non teknis menghampiri.
Dalam Islam, bekerja dapat dipandang sebagai ibadah. Dua syarat ibadah agar bernilai di mata Allah: ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah. Sesuai teladan Rasulullah dengan kata lain berarti sesuai dengan syariat. Dalam hal bekerja, itu artinya tidak curang, tidak khianat, dan tidak-tidak lainnya, sebaliknya harus jujur dan amanah. Namun demikian, terdapat area mubah dalam bekerja yang kadang menjadi sumber konflik. Sering terjadi masing-masing pihak merasa berniat baik dalam mengajukan sesuatu. Sesuatu itu pun juga dapat dipandang sebagai suatu yang baik, misalnya perubahan dan reformasi. Ketika para pihak ketemu, muncul berbagai friksi. Masing-masing kita tentu pernah bahkan sering mengalami kasus begini. Sama-sama bermaksud baik, tapi nggak akur.
Perkara konflik dalam beramal atau bekerja semakin ruwet ketika mekanisme pengorganisasian tidak berjalan efektif. Terlebih lagi, sebagai manusia kita memiliki kepentingan-kepentingan manusiawi yang bersaing dengan maksud mulia. Kalau nggak begini, tentu dunia akan sepi dan mungkin tidak menyenangkan lagi. Dalam artikel Keniscayaan Perbedaan, saya pernah mengemukakan bahwa demokrasi dapat menjadi cara resolusi yang efektif dan efisien. Kenyataannya, tidak semua masalah layak, walaupun bisa, diselesaikan dengan cara itu. Contohnya dalam organisasi. Walaupun melibatkan semua pihak adalah suatu yang baik, keputusan sering harus diambil sendirian oleh sang pemimpin. Dalam sunyi. Kalau tidak demikian, mungkin organisasi dimaksud lebih tepat disebut kumpulan warga di RT atau RW, yang tidak dituntut geraknya sesuai misi dan visi organisasi.
Nah, ketika keputusan diambil, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Biasa. Yang sering kita masalahkan adalah kalau kepentingan manusiawi kita yang dirugikan. Bahkan di pasar sekalipun, di mana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela tanpa niat curang atau khianat, ada pihak yang mengambil untung dan ada yang menanggung kerugian. Ada risiko. Tidak sedikit yang akhirnya bangkrut. Kalau kita rugi atau bangkrut (naudzubillah), tentu sedih dong. Apalagi kalau kita merasa telah bekerja dengan baik dan mestinya layak mendapat untung di pasar atau promosi di perusahaan. Lebih sakit lagi kalau kita melihat orang yang tidak bekerja dan berbisnis dengan baik justru bertahan dan berkembang. Hik... Siapa bilang hidup ini adil?
Kalau kita bercerita mengenai pengalaman personal, tentunya halaman-halaman ini tidak memadai, saking banyaknya perasaan tidak beruntung terpendam dalam diri. Di sini, saya pribadi belajar untuk ikhlas. Ikhlas menerima ketetapan Allah, dalam bentuk takdir. Katup ikhlas ini membuat kita mampu bertahan, bagaimanapun kondisinya. Dan itu berpahala. Kita patut menagih pahala dari Allah atas kemalangan itu. Maksud menagih tentunya berdo'a dan Allah suka dengan hambanya yang mengharap pahala. Ustadz saya pernah mengilustrasikan seorang yang suci, zuhud, dan tahu hakikat yang berdo'a kepada Allah, menagih banyak hal, tapi senang tidak dikabulkan di dunia, menunggu bagian di akhirat.
Saya di sini tidak menganjurkan kita jadi apatis dan malas bekerja. Justru sikap mental yang lahir dari ikhlas harusnya positif, sangat positif. Ketika hasil kerja kita tidak diapresiasi, ketika gagasan jenius kita ditolak mentah-mentah, ketika orang lain yang tidak berkontribusi justru mendapat reward, ketika orang yang tidak punya program justru dipilih menjadi pemimpin, dengan sikap mental positif, kita justru makin getol berkarya, melahirkan gagasan baru yang brilian, dan merancang program-program perbaikan. Apa yang akhirnya terjadi, menang atau kalah, bukan soal. Banyak pahlawan yang gugur. Banyak pahlawan hebat yang kalah dalam pertempuran. Kekalahan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai kejuangan dan kepahlawanannya.
Mari kita lirik sedikit hasil penelitian Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Para pahlawan perusahaan yang berhasil mentransformasi perusahaan menjadi hebat menjawab dengan bingung ketika ditanya Collins resep rahasianya. Memang Collins dkk menggali dan menyarikan faktor-faktor sukses para CEO tersebut. Lihat ringkasan buku ini yang pernah saya buat. Namun demikian, tetap saja para pahlawan tersebut mengatakan mereka hanya beruntung. Beruntung punya SDM yang berkualitas. Beruntung berada pada tempat dan waktu yang tepat. Apa sih artinya? Orang yang hebat sekalipun, atau lebih tepatnya justru orang yang hebat dapat dengan kalem mengakui keberhasilan yang diraih tidak dapat sepenuhnya lepas dari faktor kebetulan. Istilah lainnya takdir, kata yang digunakan Ferguson (terjemahan sih) setelah MU menjadi kampiun Eropa lewat drama adu penalti.
Untuk memantapkan keyakinan secara ilmiah tentang adanya faktor kebetulan, mungkin Anda perlu membaca buku Fooled by Randomness, yang terjemahan bebasnya Terkecoh oleh Faktor Kebetulan, karya praktisi pasar keuangan Amerika asal Yunani yang cukup kesohor, Nassim Nicholas Thaleb. Jadi... Kekecewaan sesaat rasanya dapat dimaklumi. Justru nggak manusiawi kalau kita tidak kecewa terhadap kegagalan. Selanjutnya, biarkan ikhlas yang kembali bekerja. Yuk, sama-sama belajar ikhlas, sehingga hidup terasa adil!
Dalam Islam, bekerja dapat dipandang sebagai ibadah. Dua syarat ibadah agar bernilai di mata Allah: ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah. Sesuai teladan Rasulullah dengan kata lain berarti sesuai dengan syariat. Dalam hal bekerja, itu artinya tidak curang, tidak khianat, dan tidak-tidak lainnya, sebaliknya harus jujur dan amanah. Namun demikian, terdapat area mubah dalam bekerja yang kadang menjadi sumber konflik. Sering terjadi masing-masing pihak merasa berniat baik dalam mengajukan sesuatu. Sesuatu itu pun juga dapat dipandang sebagai suatu yang baik, misalnya perubahan dan reformasi. Ketika para pihak ketemu, muncul berbagai friksi. Masing-masing kita tentu pernah bahkan sering mengalami kasus begini. Sama-sama bermaksud baik, tapi nggak akur.
Perkara konflik dalam beramal atau bekerja semakin ruwet ketika mekanisme pengorganisasian tidak berjalan efektif. Terlebih lagi, sebagai manusia kita memiliki kepentingan-kepentingan manusiawi yang bersaing dengan maksud mulia. Kalau nggak begini, tentu dunia akan sepi dan mungkin tidak menyenangkan lagi. Dalam artikel Keniscayaan Perbedaan, saya pernah mengemukakan bahwa demokrasi dapat menjadi cara resolusi yang efektif dan efisien. Kenyataannya, tidak semua masalah layak, walaupun bisa, diselesaikan dengan cara itu. Contohnya dalam organisasi. Walaupun melibatkan semua pihak adalah suatu yang baik, keputusan sering harus diambil sendirian oleh sang pemimpin. Dalam sunyi. Kalau tidak demikian, mungkin organisasi dimaksud lebih tepat disebut kumpulan warga di RT atau RW, yang tidak dituntut geraknya sesuai misi dan visi organisasi.
Nah, ketika keputusan diambil, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Biasa. Yang sering kita masalahkan adalah kalau kepentingan manusiawi kita yang dirugikan. Bahkan di pasar sekalipun, di mana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela tanpa niat curang atau khianat, ada pihak yang mengambil untung dan ada yang menanggung kerugian. Ada risiko. Tidak sedikit yang akhirnya bangkrut. Kalau kita rugi atau bangkrut (naudzubillah), tentu sedih dong. Apalagi kalau kita merasa telah bekerja dengan baik dan mestinya layak mendapat untung di pasar atau promosi di perusahaan. Lebih sakit lagi kalau kita melihat orang yang tidak bekerja dan berbisnis dengan baik justru bertahan dan berkembang. Hik... Siapa bilang hidup ini adil?
Kalau kita bercerita mengenai pengalaman personal, tentunya halaman-halaman ini tidak memadai, saking banyaknya perasaan tidak beruntung terpendam dalam diri. Di sini, saya pribadi belajar untuk ikhlas. Ikhlas menerima ketetapan Allah, dalam bentuk takdir. Katup ikhlas ini membuat kita mampu bertahan, bagaimanapun kondisinya. Dan itu berpahala. Kita patut menagih pahala dari Allah atas kemalangan itu. Maksud menagih tentunya berdo'a dan Allah suka dengan hambanya yang mengharap pahala. Ustadz saya pernah mengilustrasikan seorang yang suci, zuhud, dan tahu hakikat yang berdo'a kepada Allah, menagih banyak hal, tapi senang tidak dikabulkan di dunia, menunggu bagian di akhirat.
Saya di sini tidak menganjurkan kita jadi apatis dan malas bekerja. Justru sikap mental yang lahir dari ikhlas harusnya positif, sangat positif. Ketika hasil kerja kita tidak diapresiasi, ketika gagasan jenius kita ditolak mentah-mentah, ketika orang lain yang tidak berkontribusi justru mendapat reward, ketika orang yang tidak punya program justru dipilih menjadi pemimpin, dengan sikap mental positif, kita justru makin getol berkarya, melahirkan gagasan baru yang brilian, dan merancang program-program perbaikan. Apa yang akhirnya terjadi, menang atau kalah, bukan soal. Banyak pahlawan yang gugur. Banyak pahlawan hebat yang kalah dalam pertempuran. Kekalahan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai kejuangan dan kepahlawanannya.
Mari kita lirik sedikit hasil penelitian Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Para pahlawan perusahaan yang berhasil mentransformasi perusahaan menjadi hebat menjawab dengan bingung ketika ditanya Collins resep rahasianya. Memang Collins dkk menggali dan menyarikan faktor-faktor sukses para CEO tersebut. Lihat ringkasan buku ini yang pernah saya buat. Namun demikian, tetap saja para pahlawan tersebut mengatakan mereka hanya beruntung. Beruntung punya SDM yang berkualitas. Beruntung berada pada tempat dan waktu yang tepat. Apa sih artinya? Orang yang hebat sekalipun, atau lebih tepatnya justru orang yang hebat dapat dengan kalem mengakui keberhasilan yang diraih tidak dapat sepenuhnya lepas dari faktor kebetulan. Istilah lainnya takdir, kata yang digunakan Ferguson (terjemahan sih) setelah MU menjadi kampiun Eropa lewat drama adu penalti.
Untuk memantapkan keyakinan secara ilmiah tentang adanya faktor kebetulan, mungkin Anda perlu membaca buku Fooled by Randomness, yang terjemahan bebasnya Terkecoh oleh Faktor Kebetulan, karya praktisi pasar keuangan Amerika asal Yunani yang cukup kesohor, Nassim Nicholas Thaleb. Jadi... Kekecewaan sesaat rasanya dapat dimaklumi. Justru nggak manusiawi kalau kita tidak kecewa terhadap kegagalan. Selanjutnya, biarkan ikhlas yang kembali bekerja. Yuk, sama-sama belajar ikhlas, sehingga hidup terasa adil!
Mengharap Surga Itu Ikhlas?
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat dan yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada penutup para Nabi, yaitu Nabi Muhammad, istri-istri beliau, keluarga, para sahabat yang berjuang keras membela Islam dan setiap orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga akhir zaman.
Sebagian ulama dan ahli ibadah punya keyakinan bahwa jika seseorang beribadah dan mengharap-harap balasan akhirat yang Allah janjikan maka ini akan mencacati keikhlasannya. Walaupun mereka tidak menyatakan batalnya amalan karena maksud semacam ini, namun mereka membenci jika seseorang punya maksud demikian.
Mereka pun mengatakan, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Perkataan ini juga dikemukakan oleh Robi'ah Al 'Adawiyah, Imam Al Ghozali dan Syaikhul Islam Ismail Al Harowi.1 Di antara perkataan Robi'ah Al Adawiyah dalam bait syairnya, “Aku sama sekali tidak mengharap surga dan takut pada neraka (sebagai balasan ibadah). Dan aku tidak mengharap rasa cintaku ini sebagai pengganti.”
Jadi intinya mereka bermaksud mengatakan bahwa janganlah seseorang beramal karena ingin mengharap pahala, mengharap balasan di sisi Allah, ingin mengharap surga atau takut pada siksa neraka. Ini namanya tidak ikhlas.
Namun jika kita perhatikan kembali pada Al Qur'an dan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh pendapat mereka-mereka jauh dari kebenaran. Berikut beberapa buktinya. Semoga Allah memberikan kepahaman.
Allah Memerintahkan untuk Berlomba Meraih Kenikmatan di Surga
Setelah menyebutkan berbagai kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta'ala pun memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26)
Dalam Al Qur'an pun Disebutkan Balasan dari Suatu Amalan
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al Kahfi: 107-108)
Al Qur'an Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Allah Ta'ala berfirman,
قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
“Al Qur'an sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi: 2)
Sifat Orang Beriman, Beribadah dengan Khouf (Takut) dan Roja' (Harap)
Allah Ta'ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ” (QS. Al Israa': 57)
Sifat 'Ibadurrahman Berlindung dari Siksa Neraka
Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". ” (QS. Al Furqon: 65)
Sifat Ulil Albab juga Berlindung dari Siksa Neraka
Allah Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194)
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." ” (QS. Ali Imron: 191-194)
Malaikat pun Meminta pada Allah Surga
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menceritakan keadaan para malaikat, beliau bersabda bahwa Allah Ta'ala berfirman,
فَمَا يَسْأَلُونِى قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ
“Apa yang para malaikat mohon pada-Ku?” “Mereka memohon pada-Mu surga,” sabda beliau.
Lihatlah malaikat pun meminta pada Allah surga, padahal mereka adalah seutama-utamanya wali Allah. Sifat-sifat para malaikat adalah,
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Malaikat-malaikat itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Asiyah, istri Fir'aun yang Beriman Meminta Rumah di Surga
Allah Ta'ala berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ” (QS. At Tahrim: 11). Padahal Asiyah lebih utama dari Robi'ah Al Adawiyah, namun ia pun masih meminta pada Allah surga.
Para Nabi Beribadah dengan Roghbah (Harap) dan Rohaba (Cemas/Takut)
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. ” (QS. Al Anbiya': 90)2
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun Meminta Surga
Sebagaimana do'a Nabi Ibrahim -kholilullah/ kekasih Allah-,
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
“Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy Syu'ara: 85-87)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun Meminta Surga
Dari Abu Sholih, dari beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seseorang, “Do'a apa yang engkau baca di dalam shalat?”
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ أَمَا إِنِّى لاَ أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلاَ دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
“Aku membaca tahiyyat, lalu aku ucapkan 'Allahumma inni as-alukal jannah wa a'udzu bika minannar' (aku memohon pada-Mu surga dan aku berlindung dari siksa neraka). Aku sendiri tidak mengetahui kalau engkau mendengungkannya begitu pula Mu'adz”, jawab orang tersebut. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka).”3
Nabi Menyuruh Meminta Tempat yang Mulia untuknya di Surga
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.”4
Yang dimaksud dengan wasilah adalah kedudukan tinggi di surga. Sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الوَسِيْلَةَ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوْقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُّوْا اللهَ أَنْ يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ عَلَى خَلْقِهِ
“Sesungguhnya wasilah adalah kedudukan (derajat yang mulia) di sisi Allah. Tidak ada lagi kedudukan yang mulia di atasnya. Maka mintalah pada Allah agar memberiku wasilah di antara hamba-Nya yang lain.”5
Setelah Kita Menyaksikan
Setelah kita melihat sendiri dan menyaksikan dengan seksama berbagai ayat al Qur'an dan riwayat hadits yang telah kami kemukakan di atas, ini menunjukkan bahwa seluruh ajaran agama ini mengajak setiap hamba untuk mencari surga dan berlindung dari neraka-Nya. Dalil-dalil tersebut juga menunjukkan bahwa para rasul, para nabi, para shidiq, para syuhada', para malaikat dan para wali Allah yang mulai, mereka semua beramal karena ingin meraih surga dan takut akan siksa neraka. Mereka adalah hamba Allah terbaik, lantas pantaskah mereka disebut pekerja yang jelek?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَطَلَبُ الْجَنَّةِ وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ النَّارِ طَرِيقُ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَجَمِيعِ أَوْلِيَائِهِ السَّابِقِينَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَصْحَابِ الْيَمِينِ
“Meminta surga dan berlindung dari siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli surga pertengahan (ash-habul yamin).”6
Salah Paham dengan Kenikmatan di Surga dan Siksa Neraka
Mengenai perkataan sebagian sufi,
لَمْ أَعْبُدْكَ شَوْقًا إلَى جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ
“Aku tidaklah beribadah pada-Mu karena menginginkan nikmat surga-Mu dan takut pada siksa neraka-Mu”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memberikan jawaban,
“Perkataan ini muncul karena sangkaannya bahwa surga sekedar nama tempat yang akan diperoleh berbagai macam nikmat. Sedangkan neraka adalah nama tempat yang mana makhluk akan mendapat siksa di dalamnya. Ini termasuk mendeskreditkan dan meremehkan yang dilakukan oleh mereka-mereka karena salah paham dengan kenikmatan surga. Kenikmatan di surga adalah segala sesuatu yang dijanjikan kepada wali-wali Allah dan juga termasuk kenikmatan karena melihat Allah. Yang terakhir ini juga termasuk kenikmatan di surga. Oleh karenanya, makhluk Allah yang paling mulia selalu meminta surga pada Allah dan selalu berlindung dari siksa neraka.”7
Melihat wajah Allah di akhirat kelak, itulah kenikmatan yang paling besar dan istimewa dari kenikmatan lainnya. Dari Shuhaib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ».
“Jika penduduk surga memasuki surga, Allah Ta'ala pun mengatakan pada mereka, “Apakah kalian ingin sesuatu sebagai tambahan untuk kalian?” “Bukankah engkau telah membuat wajah kami menjadi berseri, telah memasukkan kami ke dalam surga dan membebaskan kami dari siksa neraka?”, tanya penduduk surga tadi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah pun membuka hijab (tirai). Maka mereka tidak pernah diberi nikmat yang begitu mereka suka dibanding dengan nikmat melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.”8
Siksaan di neraka yang paling berat adalah karena tidak memperoleh nikmat yang besar ini yaitu melihat Allah Ta'ala. Orang-orang kafir tidak merasakan melihat wajah Allah yang merupakan nikmat terbesar yang diperoleh oleh penduduk surga. Inilah kerugian dan siksaan bagi mereka. Allah Ta'ala berfirman,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari melihat wajah Tuhan mereka. ” (QS. Al Muthaffifin: 15). Imam Syafi'i berdalil dengan mafhum (makna tersirat) ayat ini,
هذه الآية دليل على أن المؤمنين يرونه عز وجل يومئذ
“Ayat ini adalah dalil bahwa orang-0rang beriman akan melihat Allah 'azza wa jalla pada hari itu (hari kiamat).”9
Inilah pikiran picik yang membatasi kenikmatan di surga hanya dengan merasakan berbagai nikmat, seperti sungai, bidadari, buah-buahan, namun ada nikmat yang lebih daripada itu yaitu nikmat melihat Allah Ta'ala.
Kesimpulan
Yang namanya ikhlas adalah seseorang beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai buah, sungai di surga, rumah di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat Allah di akhirat kelak. Begitu pula yang namanya ikhlas adalah seseorang beribadah karena takut akan siksa neraka. Inilah yang namanya ikhlas.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kita keikhlasan dalam beramal, harapan yang kuat untuk meraih surga-Nya dan rasa takut akan siksa neraka-Nya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 26 Muharram 1431 H
Footnote:
1 Ta'thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Dr. Sayid bin Husain Al 'Afani, hal. 365-366, Darul 'Affani, 1421 H. [Pembahasan selanjutnya banyak kami ambil faedah dari kitab ini]
2 Ada dua tafsiran mengenai surat Al Anbiya' ayat 90. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Zakariya dan istrinya. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah semua nabi yang disebutkan dalam surat Al Anbiya'. Lihat penjelasan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir ketika menjelaskan surat ini.
3 HR. Abu Daud no. 792, Ibnu Majah no. 910, dan Ahmad (3/474). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih wa Dhoif Sunan Abu Daud no. 792.
4 HR. Muslim no. 875
5 HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Awsoth. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Fadhlu Sholah ‘alan Nabi no. 49
6 Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/701, Darul Wafa',cetakan ketiga, 1426 H
7 Majmu' Al Fatawa, 10/240-241.
8 HR. Muslim no. 181.
9 Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 14/287, Muassasah Qurthubah
Sebagian ulama dan ahli ibadah punya keyakinan bahwa jika seseorang beribadah dan mengharap-harap balasan akhirat yang Allah janjikan maka ini akan mencacati keikhlasannya. Walaupun mereka tidak menyatakan batalnya amalan karena maksud semacam ini, namun mereka membenci jika seseorang punya maksud demikian.
Mereka pun mengatakan, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Perkataan ini juga dikemukakan oleh Robi'ah Al 'Adawiyah, Imam Al Ghozali dan Syaikhul Islam Ismail Al Harowi.1 Di antara perkataan Robi'ah Al Adawiyah dalam bait syairnya, “Aku sama sekali tidak mengharap surga dan takut pada neraka (sebagai balasan ibadah). Dan aku tidak mengharap rasa cintaku ini sebagai pengganti.”
Jadi intinya mereka bermaksud mengatakan bahwa janganlah seseorang beramal karena ingin mengharap pahala, mengharap balasan di sisi Allah, ingin mengharap surga atau takut pada siksa neraka. Ini namanya tidak ikhlas.
Namun jika kita perhatikan kembali pada Al Qur'an dan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh pendapat mereka-mereka jauh dari kebenaran. Berikut beberapa buktinya. Semoga Allah memberikan kepahaman.
Allah Memerintahkan untuk Berlomba Meraih Kenikmatan di Surga
Setelah menyebutkan berbagai kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta'ala pun memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26)
Dalam Al Qur'an pun Disebutkan Balasan dari Suatu Amalan
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al Kahfi: 107-108)
Al Qur'an Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Allah Ta'ala berfirman,
قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
“Al Qur'an sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi: 2)
Sifat Orang Beriman, Beribadah dengan Khouf (Takut) dan Roja' (Harap)
Allah Ta'ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ” (QS. Al Israa': 57)
Sifat 'Ibadurrahman Berlindung dari Siksa Neraka
Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". ” (QS. Al Furqon: 65)
Sifat Ulil Albab juga Berlindung dari Siksa Neraka
Allah Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194)
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." ” (QS. Ali Imron: 191-194)
Malaikat pun Meminta pada Allah Surga
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menceritakan keadaan para malaikat, beliau bersabda bahwa Allah Ta'ala berfirman,
فَمَا يَسْأَلُونِى قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ
“Apa yang para malaikat mohon pada-Ku?” “Mereka memohon pada-Mu surga,” sabda beliau.
Lihatlah malaikat pun meminta pada Allah surga, padahal mereka adalah seutama-utamanya wali Allah. Sifat-sifat para malaikat adalah,
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Malaikat-malaikat itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Asiyah, istri Fir'aun yang Beriman Meminta Rumah di Surga
Allah Ta'ala berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ” (QS. At Tahrim: 11). Padahal Asiyah lebih utama dari Robi'ah Al Adawiyah, namun ia pun masih meminta pada Allah surga.
Para Nabi Beribadah dengan Roghbah (Harap) dan Rohaba (Cemas/Takut)
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. ” (QS. Al Anbiya': 90)2
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun Meminta Surga
Sebagaimana do'a Nabi Ibrahim -kholilullah/ kekasih Allah-,
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
“Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy Syu'ara: 85-87)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun Meminta Surga
Dari Abu Sholih, dari beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seseorang, “Do'a apa yang engkau baca di dalam shalat?”
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ أَمَا إِنِّى لاَ أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلاَ دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
“Aku membaca tahiyyat, lalu aku ucapkan 'Allahumma inni as-alukal jannah wa a'udzu bika minannar' (aku memohon pada-Mu surga dan aku berlindung dari siksa neraka). Aku sendiri tidak mengetahui kalau engkau mendengungkannya begitu pula Mu'adz”, jawab orang tersebut. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka).”3
Nabi Menyuruh Meminta Tempat yang Mulia untuknya di Surga
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.”4
Yang dimaksud dengan wasilah adalah kedudukan tinggi di surga. Sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الوَسِيْلَةَ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوْقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُّوْا اللهَ أَنْ يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ عَلَى خَلْقِهِ
“Sesungguhnya wasilah adalah kedudukan (derajat yang mulia) di sisi Allah. Tidak ada lagi kedudukan yang mulia di atasnya. Maka mintalah pada Allah agar memberiku wasilah di antara hamba-Nya yang lain.”5
Setelah Kita Menyaksikan
Setelah kita melihat sendiri dan menyaksikan dengan seksama berbagai ayat al Qur'an dan riwayat hadits yang telah kami kemukakan di atas, ini menunjukkan bahwa seluruh ajaran agama ini mengajak setiap hamba untuk mencari surga dan berlindung dari neraka-Nya. Dalil-dalil tersebut juga menunjukkan bahwa para rasul, para nabi, para shidiq, para syuhada', para malaikat dan para wali Allah yang mulai, mereka semua beramal karena ingin meraih surga dan takut akan siksa neraka. Mereka adalah hamba Allah terbaik, lantas pantaskah mereka disebut pekerja yang jelek?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَطَلَبُ الْجَنَّةِ وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ النَّارِ طَرِيقُ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَجَمِيعِ أَوْلِيَائِهِ السَّابِقِينَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَصْحَابِ الْيَمِينِ
“Meminta surga dan berlindung dari siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli surga pertengahan (ash-habul yamin).”6
Salah Paham dengan Kenikmatan di Surga dan Siksa Neraka
Mengenai perkataan sebagian sufi,
لَمْ أَعْبُدْكَ شَوْقًا إلَى جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ
“Aku tidaklah beribadah pada-Mu karena menginginkan nikmat surga-Mu dan takut pada siksa neraka-Mu”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memberikan jawaban,
“Perkataan ini muncul karena sangkaannya bahwa surga sekedar nama tempat yang akan diperoleh berbagai macam nikmat. Sedangkan neraka adalah nama tempat yang mana makhluk akan mendapat siksa di dalamnya. Ini termasuk mendeskreditkan dan meremehkan yang dilakukan oleh mereka-mereka karena salah paham dengan kenikmatan surga. Kenikmatan di surga adalah segala sesuatu yang dijanjikan kepada wali-wali Allah dan juga termasuk kenikmatan karena melihat Allah. Yang terakhir ini juga termasuk kenikmatan di surga. Oleh karenanya, makhluk Allah yang paling mulia selalu meminta surga pada Allah dan selalu berlindung dari siksa neraka.”7
Melihat wajah Allah di akhirat kelak, itulah kenikmatan yang paling besar dan istimewa dari kenikmatan lainnya. Dari Shuhaib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ».
“Jika penduduk surga memasuki surga, Allah Ta'ala pun mengatakan pada mereka, “Apakah kalian ingin sesuatu sebagai tambahan untuk kalian?” “Bukankah engkau telah membuat wajah kami menjadi berseri, telah memasukkan kami ke dalam surga dan membebaskan kami dari siksa neraka?”, tanya penduduk surga tadi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah pun membuka hijab (tirai). Maka mereka tidak pernah diberi nikmat yang begitu mereka suka dibanding dengan nikmat melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.”8
Siksaan di neraka yang paling berat adalah karena tidak memperoleh nikmat yang besar ini yaitu melihat Allah Ta'ala. Orang-orang kafir tidak merasakan melihat wajah Allah yang merupakan nikmat terbesar yang diperoleh oleh penduduk surga. Inilah kerugian dan siksaan bagi mereka. Allah Ta'ala berfirman,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari melihat wajah Tuhan mereka. ” (QS. Al Muthaffifin: 15). Imam Syafi'i berdalil dengan mafhum (makna tersirat) ayat ini,
هذه الآية دليل على أن المؤمنين يرونه عز وجل يومئذ
“Ayat ini adalah dalil bahwa orang-0rang beriman akan melihat Allah 'azza wa jalla pada hari itu (hari kiamat).”9
Inilah pikiran picik yang membatasi kenikmatan di surga hanya dengan merasakan berbagai nikmat, seperti sungai, bidadari, buah-buahan, namun ada nikmat yang lebih daripada itu yaitu nikmat melihat Allah Ta'ala.
Kesimpulan
Yang namanya ikhlas adalah seseorang beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai buah, sungai di surga, rumah di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat Allah di akhirat kelak. Begitu pula yang namanya ikhlas adalah seseorang beribadah karena takut akan siksa neraka. Inilah yang namanya ikhlas.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kita keikhlasan dalam beramal, harapan yang kuat untuk meraih surga-Nya dan rasa takut akan siksa neraka-Nya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 26 Muharram 1431 H
Footnote:
1 Ta'thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Dr. Sayid bin Husain Al 'Afani, hal. 365-366, Darul 'Affani, 1421 H. [Pembahasan selanjutnya banyak kami ambil faedah dari kitab ini]
2 Ada dua tafsiran mengenai surat Al Anbiya' ayat 90. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Zakariya dan istrinya. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah semua nabi yang disebutkan dalam surat Al Anbiya'. Lihat penjelasan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir ketika menjelaskan surat ini.
3 HR. Abu Daud no. 792, Ibnu Majah no. 910, dan Ahmad (3/474). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih wa Dhoif Sunan Abu Daud no. 792.
4 HR. Muslim no. 875
5 HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Awsoth. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Fadhlu Sholah ‘alan Nabi no. 49
6 Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/701, Darul Wafa',cetakan ketiga, 1426 H
7 Majmu' Al Fatawa, 10/240-241.
8 HR. Muslim no. 181.
9 Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 14/287, Muassasah Qurthubah
Ikhlas Itu Sebenarnya 'Mudah'
Ikhlas dalam islam ibaratnya adalah sebuah kunci untuk memasuki sebuah rumah. Tanpa kunci maka kita tidak akan bisa memasuki rumah tersebut. Dipaksa masuk maka kita tak ubahnya seperti maling yang ingin mencuri dan mengancurkan rumah tersebut. Jika islam maka ikhlaslah dalam berislam dan menjalani. Ikhlas juga merupakan sebuah persyaratan mutlak untuk diterimanya sebuah ibadah diterima oleh AllahSWT. Baik itu ibadah ritual maupun ibadah social.
Dalam ibadah ritual misalnya, adalah shalat yang paling sering dipermasalahkan. Kita semua mengetahui bahwa tatkala kita shalat berarti kita akan mencegah perbuatan yang buruk dan menyebarkan perbuatan yang baik. Tapi, realita berkata lain. Dan bukan rahasia umum jika kita mendapati bahwa banyak yang shalat tapi enggan menerima islam secara penuh. Shalat tapi masih malas berhijab. Shalat tapi masih dekat dengan zina serta korupsi. Jawabannya mudah, tatkala shalat hanya sebagai rutinitas yang mengharapkan embel-embel dunia maka shalat itu hanya sampai disitu. Dia tidak akan membentuk karakter yang sesuai dituntun dalam alquran. Dan ikhlas adalah syarat sebuah shalat menjadi sebuah kesempurnaan dalam ibadah.
Ibadah social pun tak jauh berbeda. Hal ini bisa sangat jelas kita dapati dalam keseharian. Begitu banyak orang yang menelanjangi dirinya dengan perbuatan-perbuatan naik yang sebenarnya hanya sebuah kepura-puraan semata. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa jika yang berbicara itu mulut maka yang dengar adalah kuping, dan jika yang berbicara adalah hati maka yang dengar adalah hati. Dengan kata lain, tatkala keikhlasan yang berbicara ataupun bertindak maka dia akan menghasilkan sebuah kebaikan yang nyata. Sudah berapa banyak kita melihat banyak memberikan janji manis tapi sebenarnya adalah sebuah penipuan yang nyata. Harus berapa banyak lagi kita melihat begitu banyaknya orang yang bersembunyi dibalik kemunafikannya. Manis tapi sesungguhnya pahit. Ini semua akan jauh berbeda saat kita mendengar atau melihat orang-orang yang berkata atau bertindak dengan keikhlasan yang nyata.
Jadi permasalahan sekarang adalah paradigma berpikir masyarakat kita sekarang ini mengatakan bahwa ikhlas itu mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Atau, ikhlas itu adalah sebuah kesulitan yang nyata. Lantas jika demikian bagaimana dengan ibadah dan kehidupan kita selama ini. Bukankah keikhlasan itu adalah sebuah kunci untuk sebuah kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan.
Paradigma seperti ini sudah sangat menyesatkan masyarakat kita selama ini, terutama umat islam. Sebenarnya, tidak ada yang sulit dalam kehidupan manusia. Karena Allah telah menciptkan manusia sebagai makhluk sempurna sebagai manusia. Jadi dengan kata lain, segala sesuatu itu muncul dan berkembang karena manusia itu mampu menjelaninya. Sayangnya, kita lebih banyak tenggelam dalam keluhan daripada mencari tahu dan jalan keluar dari setiap permasalahan. Dan kebanyakan kita selalu mengatakan bahwa sebenarnya ikhlas itu sulit, sesulit kita mengatakan bahwa kita beriman.
Pada dasarnya ikhlas itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Akan tetapi ikhlas itu akan menjadi sulit tatkala kita yang menakarnya. Dalam artian, tatkala kita mengerjakan sesuatu lalu mengatakan bahwa kita ikhlas mengerjakannya biasanya dalam hati kecil akan ada muncul sebuah desir kecil yang bermain. Bisa jadi, tatkala kita mengatakan bahwa kita ikhlas padahal sebenarnya belum. Walaupun sudah sekuat tenaga kita mengatakan bahwa kita ikhlas. Dalam contoh yang lebih mudah dapat kita dapati tatkala kita jatuh cinta kepada sesuatu hal, dan hal itu akhirnya diambil lagi oleh pemiliknya. Dimulut kita mengatakan bahwa kita ikhlas akan pengambilannya. Tapi hati (baca : perasaan) kita tidak bisa menerimanya begitu saja. Tak jarang kita tenggelam dalam ketakutan berkepanjangan, kegelisahan dan kegundahan tak menentu. Belum lagi dengan tindakan yang secara langsung ataupun tidak akan menunjukkan ketidak ikhlasan kita dalam menerima keadaan.
Ikhlas (menurut saya) adalah sebuah pengorbanan tanpa pamrih dan tanpa balas. Saat kita member maka cukupkan sampai disitu. Luruskan dengan niat karena Allah lalu diam. Sudah. Sebenarnya, secara tidak langsung, Allah telah mengajarkan manusia untuk dapat bisa membiasakan dirinya ikhlas dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai khalifah dimuka bumi. Yaitu dimana setiap pagi sehabis bangun dari tidur kita selalu melakukan sebuah perbuatan yang sangat ikhlas tanpa tanding. Yaitu BUANG HAJAT.
Ya! Seharusnya ikhlas itu seperti kita buang hajat. Setiap kali kita membuat hajat, tak sedikitpun dalam benak kita terpikir untuk menariknya kembali dan memasukannya kedalam perut suatu saat nanti. Alih-alih berpikir demikian kita malah menutup hidup dan menyiramnya cepat-cepat agar tidak meninggalkan sisa. Dan seperti sebuah siklus kehidupan, sesuatu yang ikhlas akan berbuah indah. Maka hajat yang kita buang (secara tidak sadar) dengan ikhlas tersebut berbuah manis bagi orang lain. Yaitu mereka pengusaha pengolahan limbah manusia. Mungkin, andaikata buang hajat tidak ikhlas maka tidak akan ada pabrik pengolahan limbah. Jika tidak ada pabrik pengolahan limbah maka akan banyak orang yang nganggur, anak-anak tidak sekolah, dan yang terpenting adalah tidak sehatnya sebuah siklus kehidupan dimana kotoran seharusnya terurai menjadi sumber energy.
Sekarang, apa kita tidak malu tatkala mengatakan bahwa ikhlas itu sulit atau susah sedangkan setiap pagi semua kita melakukan sebuah perbuatan yang ikhlas. Dan ternyata secara tidak langsung Allah mengajarkan kepada kita untuk berlaku ikhlas. Ini hanya sebuah contoh kecil tapi andaikata terjadi dalam siklus yang lebih besar maka efek yang ditimbulkan juga akan lebih besar dan bermanfaat. Bukankah tatkala kita ikhlas ibadah kita diterima oleh Allah. Dan bukan dengan ikhlas dalam menjalankan islam maka akan timbul sebuah kedamaian didalam hati sehingga kitapun akan menjadi pribadi-pribadi yang bahagia.
Apa tidak bisa tatkala kita memberi seperti kita membuang hajat dipagi hari. Disiram cepat-cepat dan tidak mau tahu bagaimana keadaan dari pemberian kita itu. Tidak usah diingat dan diungkit-ungkit lagi. Biarkan saja dia berproses menjadi sesuatu yang berguna nantinya, dan siapa tahu mungkin di yaumil hisab nanti justru hal-hal yang ikhlas itu akan menolong kita dari siksa neraka. Jadi pertanyaan sekarang, jika sudah diajari bertahun-tahun selama ini mengenai ikhlas, masihkah kita mengatakan bahwa ikhlas itu sulit? Tidak malu? Sedangkan selama tujuh kali seminggu, tiga ratus enam puluh lima kali setahun kita selalu diajari ikhlas setiap pagi. Bukankah itu adalah sebuah kemuliaan tatkala kita bisa ikhlas dalam memimpin dan menjalani hari-hari dibumi allah ini.
Dalam ibadah ritual misalnya, adalah shalat yang paling sering dipermasalahkan. Kita semua mengetahui bahwa tatkala kita shalat berarti kita akan mencegah perbuatan yang buruk dan menyebarkan perbuatan yang baik. Tapi, realita berkata lain. Dan bukan rahasia umum jika kita mendapati bahwa banyak yang shalat tapi enggan menerima islam secara penuh. Shalat tapi masih malas berhijab. Shalat tapi masih dekat dengan zina serta korupsi. Jawabannya mudah, tatkala shalat hanya sebagai rutinitas yang mengharapkan embel-embel dunia maka shalat itu hanya sampai disitu. Dia tidak akan membentuk karakter yang sesuai dituntun dalam alquran. Dan ikhlas adalah syarat sebuah shalat menjadi sebuah kesempurnaan dalam ibadah.
Ibadah social pun tak jauh berbeda. Hal ini bisa sangat jelas kita dapati dalam keseharian. Begitu banyak orang yang menelanjangi dirinya dengan perbuatan-perbuatan naik yang sebenarnya hanya sebuah kepura-puraan semata. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa jika yang berbicara itu mulut maka yang dengar adalah kuping, dan jika yang berbicara adalah hati maka yang dengar adalah hati. Dengan kata lain, tatkala keikhlasan yang berbicara ataupun bertindak maka dia akan menghasilkan sebuah kebaikan yang nyata. Sudah berapa banyak kita melihat banyak memberikan janji manis tapi sebenarnya adalah sebuah penipuan yang nyata. Harus berapa banyak lagi kita melihat begitu banyaknya orang yang bersembunyi dibalik kemunafikannya. Manis tapi sesungguhnya pahit. Ini semua akan jauh berbeda saat kita mendengar atau melihat orang-orang yang berkata atau bertindak dengan keikhlasan yang nyata.
Jadi permasalahan sekarang adalah paradigma berpikir masyarakat kita sekarang ini mengatakan bahwa ikhlas itu mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Atau, ikhlas itu adalah sebuah kesulitan yang nyata. Lantas jika demikian bagaimana dengan ibadah dan kehidupan kita selama ini. Bukankah keikhlasan itu adalah sebuah kunci untuk sebuah kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan.
Paradigma seperti ini sudah sangat menyesatkan masyarakat kita selama ini, terutama umat islam. Sebenarnya, tidak ada yang sulit dalam kehidupan manusia. Karena Allah telah menciptkan manusia sebagai makhluk sempurna sebagai manusia. Jadi dengan kata lain, segala sesuatu itu muncul dan berkembang karena manusia itu mampu menjelaninya. Sayangnya, kita lebih banyak tenggelam dalam keluhan daripada mencari tahu dan jalan keluar dari setiap permasalahan. Dan kebanyakan kita selalu mengatakan bahwa sebenarnya ikhlas itu sulit, sesulit kita mengatakan bahwa kita beriman.
Pada dasarnya ikhlas itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Akan tetapi ikhlas itu akan menjadi sulit tatkala kita yang menakarnya. Dalam artian, tatkala kita mengerjakan sesuatu lalu mengatakan bahwa kita ikhlas mengerjakannya biasanya dalam hati kecil akan ada muncul sebuah desir kecil yang bermain. Bisa jadi, tatkala kita mengatakan bahwa kita ikhlas padahal sebenarnya belum. Walaupun sudah sekuat tenaga kita mengatakan bahwa kita ikhlas. Dalam contoh yang lebih mudah dapat kita dapati tatkala kita jatuh cinta kepada sesuatu hal, dan hal itu akhirnya diambil lagi oleh pemiliknya. Dimulut kita mengatakan bahwa kita ikhlas akan pengambilannya. Tapi hati (baca : perasaan) kita tidak bisa menerimanya begitu saja. Tak jarang kita tenggelam dalam ketakutan berkepanjangan, kegelisahan dan kegundahan tak menentu. Belum lagi dengan tindakan yang secara langsung ataupun tidak akan menunjukkan ketidak ikhlasan kita dalam menerima keadaan.
Ikhlas (menurut saya) adalah sebuah pengorbanan tanpa pamrih dan tanpa balas. Saat kita member maka cukupkan sampai disitu. Luruskan dengan niat karena Allah lalu diam. Sudah. Sebenarnya, secara tidak langsung, Allah telah mengajarkan manusia untuk dapat bisa membiasakan dirinya ikhlas dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai khalifah dimuka bumi. Yaitu dimana setiap pagi sehabis bangun dari tidur kita selalu melakukan sebuah perbuatan yang sangat ikhlas tanpa tanding. Yaitu BUANG HAJAT.
Ya! Seharusnya ikhlas itu seperti kita buang hajat. Setiap kali kita membuat hajat, tak sedikitpun dalam benak kita terpikir untuk menariknya kembali dan memasukannya kedalam perut suatu saat nanti. Alih-alih berpikir demikian kita malah menutup hidup dan menyiramnya cepat-cepat agar tidak meninggalkan sisa. Dan seperti sebuah siklus kehidupan, sesuatu yang ikhlas akan berbuah indah. Maka hajat yang kita buang (secara tidak sadar) dengan ikhlas tersebut berbuah manis bagi orang lain. Yaitu mereka pengusaha pengolahan limbah manusia. Mungkin, andaikata buang hajat tidak ikhlas maka tidak akan ada pabrik pengolahan limbah. Jika tidak ada pabrik pengolahan limbah maka akan banyak orang yang nganggur, anak-anak tidak sekolah, dan yang terpenting adalah tidak sehatnya sebuah siklus kehidupan dimana kotoran seharusnya terurai menjadi sumber energy.
Sekarang, apa kita tidak malu tatkala mengatakan bahwa ikhlas itu sulit atau susah sedangkan setiap pagi semua kita melakukan sebuah perbuatan yang ikhlas. Dan ternyata secara tidak langsung Allah mengajarkan kepada kita untuk berlaku ikhlas. Ini hanya sebuah contoh kecil tapi andaikata terjadi dalam siklus yang lebih besar maka efek yang ditimbulkan juga akan lebih besar dan bermanfaat. Bukankah tatkala kita ikhlas ibadah kita diterima oleh Allah. Dan bukan dengan ikhlas dalam menjalankan islam maka akan timbul sebuah kedamaian didalam hati sehingga kitapun akan menjadi pribadi-pribadi yang bahagia.
Apa tidak bisa tatkala kita memberi seperti kita membuang hajat dipagi hari. Disiram cepat-cepat dan tidak mau tahu bagaimana keadaan dari pemberian kita itu. Tidak usah diingat dan diungkit-ungkit lagi. Biarkan saja dia berproses menjadi sesuatu yang berguna nantinya, dan siapa tahu mungkin di yaumil hisab nanti justru hal-hal yang ikhlas itu akan menolong kita dari siksa neraka. Jadi pertanyaan sekarang, jika sudah diajari bertahun-tahun selama ini mengenai ikhlas, masihkah kita mengatakan bahwa ikhlas itu sulit? Tidak malu? Sedangkan selama tujuh kali seminggu, tiga ratus enam puluh lima kali setahun kita selalu diajari ikhlas setiap pagi. Bukankah itu adalah sebuah kemuliaan tatkala kita bisa ikhlas dalam memimpin dan menjalani hari-hari dibumi allah ini.
Karena Allah selayaknya Berikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang iklas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembahNya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya’ dalam beramal.
Sementara secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridho Allah dalam beramal tanpa menyekutukanNya dengan yang lain.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Namun jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyak akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridhaNya, dan kebaikan pahalanya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi Nya; dan demikianlah diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang memiliki semboyan Allahu Gayatuna, Allah tujuan hidup kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya. Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas.
Sumber : Syaamil Quran ” The Miracle”
Sementara secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridho Allah dalam beramal tanpa menyekutukanNya dengan yang lain.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Namun jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyak akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridhaNya, dan kebaikan pahalanya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi Nya; dan demikianlah diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang memiliki semboyan Allahu Gayatuna, Allah tujuan hidup kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya. Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas.
Sumber : Syaamil Quran ” The Miracle”
Mencoba Menjadi Hamba Yang Ikhlas
Menjadi Hamba yang Ikhlas
Ikhlas, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kata yang singkat namun maknanya sangat besar. Sebuah kata yang seandainya hilang dari diri seorang muslim, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, di dunia terlebih lagi di akhirat kelak. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika dilakukan tanpa didasari keikhlasan karena Allah Subhaanahu Wata�ala.
Allah Subhaanahu Wata�ala berfirman yang artinya, "Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya." (QS. Az-Zumar: 2).
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan. Di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam.
Ibnu Mas�ud Radhiyallahu �Anhu berkata, "Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam)."
APA ITU IKHLAS?
Banyak ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (di mana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan). Di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, Imam Al Maqdisi dalam kitab umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain an-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghawi dalam kitab Masobihis Sunnah, serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sebenarnya makna dari ikhlas itu sendiri?
Keikhlasan adalah ketika Anda menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanya karena Allah Subhaanahu Wata�ala semata. Anda melakukannya bukan karena selain Allah. Bukan karena riya (ingin dilihat manusia) atau pun sum�ah (ingin didengar manusia). Bukan pula karena Anda ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia. Juga bukan karena Anda tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila Anda melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka insya Allah Anda telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, "Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya."
IKHLAS, DALAM HAL APA?
Sebagian orang menyangka, keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, membaca al Qur�an, haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun keikhlasan pun harus ada dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika Anda tersenyum, Anda harus ikhlas. Saat Anda mengunjungi saudara dan teman-teman Anda, jangan lupakan ikhlas. Ikhlas pun harus ada ketika Anda meminjamkan saudara Anda barang yang dia butuhkan. Tidaklah Anda lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah Subhaanahu Wata�ala. Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
َ أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى لَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
"Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, "Hendak ke mana Anda?" Maka dia pun berkata, "Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini." Maka malaikat itu kembali bertanya, "Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengan-nya?" orang itu pun menjawab, "Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itu pun berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya." (HR. Muslim).
Tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
"Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu." (HR. Bukhari Muslim).
Renungkan, "hanya" dengan sesuap makanan yang kita letakkan di mulut istri kita—apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah—maka Allah akan memberinya pahala.
Sungguh keberuntungan yang sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam setiap gerak-gerik kita.
KARENA IKHLAS, AMAL KECIL PUN BERBERKAH
Bukanlah banyaknya amal semata yang dituntut dalam setiap perbuatan kita, namun yang paling utama ada keikhlasannya. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipatgandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak—rahimahullah—berkata, "Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil karena niat."
Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda, "Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata, “Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin.” Maka ia pun masuk surga karenanya." (HR Muslim).
Lihatlah, betapa sederhananya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
"Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur. Anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan. Kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari Bani Israil. Ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula jika seandainya yang ditolongnya adalah seorang muslim?
Sebaliknya, amal perbuatan yang besar nilainya, tapi tidak dilakukan dengan ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili Radhiyallahu �Anhu, ia berkata,
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Wahai, Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” Maka Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam pun menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali. Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallampun kembali menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karena-Nya." (HR. Abu Daud dan an-Nasai).
Ada orang yang berjihad, dan itu adalah suatu amalan yang sangat besar, namun tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
BUAH KEIKHLASAN
Seseorang yang telah beramal lalu mengikhlaskan amalanya itu karena Allah—di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam—maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis—laknatullah alaihi—yang artinya,
"Iblis menjawab, "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka." (QS. Shad: 82-83).
Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah Subhaanahu Wata�ala jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah Subhaanahu Wata�ala berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissalam yang artinya,
"Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas." (QS. Yusuf: 24).
Pada ayat ini Allah Subhaanahu Wata�ala mengisahkan tentang penjagaan Allah Subhaanahu Wata�ala terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Tapi karena Nabi Yusuf Alaihissalam termasuk di antara orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat.
Karenya, seorang hamba yang sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, maka hal tersebut merupakan indikasi minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam setiap perbuatannya. Mari instropeksi diri dan perbaiki kembali niat-niat kita. Semoga Allah Subhaanahu Wata�ala menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Wallahu .
Ikhlas, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kata yang singkat namun maknanya sangat besar. Sebuah kata yang seandainya hilang dari diri seorang muslim, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, di dunia terlebih lagi di akhirat kelak. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika dilakukan tanpa didasari keikhlasan karena Allah Subhaanahu Wata�ala.
Allah Subhaanahu Wata�ala berfirman yang artinya, "Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya." (QS. Az-Zumar: 2).
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan. Di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam.
Ibnu Mas�ud Radhiyallahu �Anhu berkata, "Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam)."
APA ITU IKHLAS?
Banyak ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (di mana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan). Di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, Imam Al Maqdisi dalam kitab umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain an-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghawi dalam kitab Masobihis Sunnah, serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sebenarnya makna dari ikhlas itu sendiri?
Keikhlasan adalah ketika Anda menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanya karena Allah Subhaanahu Wata�ala semata. Anda melakukannya bukan karena selain Allah. Bukan karena riya (ingin dilihat manusia) atau pun sum�ah (ingin didengar manusia). Bukan pula karena Anda ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia. Juga bukan karena Anda tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila Anda melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka insya Allah Anda telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, "Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya."
IKHLAS, DALAM HAL APA?
Sebagian orang menyangka, keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, membaca al Qur�an, haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun keikhlasan pun harus ada dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika Anda tersenyum, Anda harus ikhlas. Saat Anda mengunjungi saudara dan teman-teman Anda, jangan lupakan ikhlas. Ikhlas pun harus ada ketika Anda meminjamkan saudara Anda barang yang dia butuhkan. Tidaklah Anda lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah Subhaanahu Wata�ala. Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
َ أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى لَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
"Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, "Hendak ke mana Anda?" Maka dia pun berkata, "Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini." Maka malaikat itu kembali bertanya, "Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengan-nya?" orang itu pun menjawab, "Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itu pun berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya." (HR. Muslim).
Tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
"Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu." (HR. Bukhari Muslim).
Renungkan, "hanya" dengan sesuap makanan yang kita letakkan di mulut istri kita—apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah—maka Allah akan memberinya pahala.
Sungguh keberuntungan yang sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam setiap gerak-gerik kita.
KARENA IKHLAS, AMAL KECIL PUN BERBERKAH
Bukanlah banyaknya amal semata yang dituntut dalam setiap perbuatan kita, namun yang paling utama ada keikhlasannya. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipatgandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak—rahimahullah—berkata, "Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil karena niat."
Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda, "Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata, “Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin.” Maka ia pun masuk surga karenanya." (HR Muslim).
Lihatlah, betapa sederhananya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam bersabda,
"Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur. Anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan. Kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari Bani Israil. Ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula jika seandainya yang ditolongnya adalah seorang muslim?
Sebaliknya, amal perbuatan yang besar nilainya, tapi tidak dilakukan dengan ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili Radhiyallahu �Anhu, ia berkata,
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Wahai, Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” Maka Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam pun menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali. Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallampun kembali menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karena-Nya." (HR. Abu Daud dan an-Nasai).
Ada orang yang berjihad, dan itu adalah suatu amalan yang sangat besar, namun tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
BUAH KEIKHLASAN
Seseorang yang telah beramal lalu mengikhlaskan amalanya itu karena Allah—di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu �Alaihi Wasallam—maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis—laknatullah alaihi—yang artinya,
"Iblis menjawab, "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka." (QS. Shad: 82-83).
Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah Subhaanahu Wata�ala jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah Subhaanahu Wata�ala berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissalam yang artinya,
"Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas." (QS. Yusuf: 24).
Pada ayat ini Allah Subhaanahu Wata�ala mengisahkan tentang penjagaan Allah Subhaanahu Wata�ala terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Tapi karena Nabi Yusuf Alaihissalam termasuk di antara orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat.
Karenya, seorang hamba yang sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, maka hal tersebut merupakan indikasi minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam setiap perbuatannya. Mari instropeksi diri dan perbaiki kembali niat-niat kita. Semoga Allah Subhaanahu Wata�ala menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Wallahu .
Hanya karena Allah kita Berikhlas
Dunia adalah ujian bagi seluruh penghuninya, terutama manusia yang memang telah diciptakan dengan nafsu, akal, dan hati. Manusia yang memang telah ditakdirkan oleh Allah swt untuk menjadi khalifah di muka bumi, tentu tidak akan ada yang dapat terlewat dari jerat ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah swt.
Ikhlas, adalah sebuah kata sederhana yang hanya tersusun dari lima huruf saja. Ikhlas, merupakan sebuah kata yang mengandung makna yang sangat indah. Kata ini sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk direalisasikan.
Dalam ajaran agama Islam, kata ikhlas ini senantiasa dikaitkan dengan ridho Allah swt. Artinya, sebuah perbuatan baru dikatakan sebagai perbuatan yang ikhlas manakala tidak mengharapkan imbalan sekecil apapun, kecuali hanya mengharapkan balasan dan ridho Allah swt. Hal ini telah disampaikan oleh Allah swt di dalam Al Quran yang artinya:
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. At Taubah : 59)
Ikhlas, yaitu bersih dari segala bentuk pamrih dan harapan kepada selain Allah swt, sebesar apapun pamrih dan harapan tersebut. Satu-satunya harapan yang boleh dan wajib ada di dalam sebuah keikhlasan hanyalah keridhoan Allah swt semata. Berikut kami sajikan sekelumit kisah yang menggambarkan betapa pentingnya sifat ikhlas bagi manusia.
Abdullah bin ‘Umar ra berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Terjadi pada masa dahulu sebelum kamu, tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam dalam sebuah gua. Ketika mereka telah berada di dalam gua itu, tiba-tiba jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: “Sungguh, tiada suatu apapun yang dapat menyelamatkan kami dari bahaya ini, kecuali jika tawassul kepada Allah swt dengan amal-amal shalih yang pernah kami lakukan dahulu kala”. Maka berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya (ayah-ibu), baik pada keluarga atau hamba sahaya, maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan sayapun tidak akan memberikan itu kepada siapapun sebelum ayah bunda itu. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum dari susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis meminta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah, jika apa yang saya perbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhoan-Mu, maka lapangkanlah keaaan kami ini”. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya.
Kemudian, berdoalah yang kedua dari mereka: “Ya Allah, dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena rasa cinta kasihku itu, saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang meminta bantuan kepadaku, maka saya berikan kepadanya uang seratus dua puluh dinar, tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah swt dan janganlah kau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal’. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkna dinar mas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah, jika saya berbuat itu semata-semata hanya karena mengharap ridho-Mu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini”. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka masih belum dapat keluar dari gua tersebut.
Maka berdoalah orang ketiga dari mereka: “Ya Allah, saya dahulu sebagai majikan, mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segera ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga merupakan kekayaan. Kemudian setelah lama, datanglah buruh itu dan berkata: ‘Hai Abdullah, berikanlah kepadaku upahku yang dahulu itu!’ Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu daripada upahmu yang berupa unta, lembu dan kambing serta budak penggembalanya itu’. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah, kamu jangan mengejek kepadaku’. Jawabku: ‘Aku tidak mengejek kepadamu. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tidak meninggalka satupun daripadanya’. Ya Allah, jika saya berbuat itu hanya karena mengharapkan keridhoan-Mu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini”. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluarlah mereka dengan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sumber: Kitab Riyadhus Shalihin I
Dari sekelumit kisah di atas, dapat kita petik pelajaran bahwa sifat ikhlas yang hanya mengharapkan ridho Allah swt akan senantiasa mendapatkan balasan dari Allah swt. Dengan keikhlasan yang tertanam di dalam jiwa seorang muslim, niscaya Allah swt akan senantiasa memberikan kemudahan atau jalan keluar bagi setiap kesulitan dan berb
Ikhlas, adalah sebuah kata sederhana yang hanya tersusun dari lima huruf saja. Ikhlas, merupakan sebuah kata yang mengandung makna yang sangat indah. Kata ini sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk direalisasikan.
Dalam ajaran agama Islam, kata ikhlas ini senantiasa dikaitkan dengan ridho Allah swt. Artinya, sebuah perbuatan baru dikatakan sebagai perbuatan yang ikhlas manakala tidak mengharapkan imbalan sekecil apapun, kecuali hanya mengharapkan balasan dan ridho Allah swt. Hal ini telah disampaikan oleh Allah swt di dalam Al Quran yang artinya:
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. At Taubah : 59)
Ikhlas, yaitu bersih dari segala bentuk pamrih dan harapan kepada selain Allah swt, sebesar apapun pamrih dan harapan tersebut. Satu-satunya harapan yang boleh dan wajib ada di dalam sebuah keikhlasan hanyalah keridhoan Allah swt semata. Berikut kami sajikan sekelumit kisah yang menggambarkan betapa pentingnya sifat ikhlas bagi manusia.
Abdullah bin ‘Umar ra berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Terjadi pada masa dahulu sebelum kamu, tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam dalam sebuah gua. Ketika mereka telah berada di dalam gua itu, tiba-tiba jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: “Sungguh, tiada suatu apapun yang dapat menyelamatkan kami dari bahaya ini, kecuali jika tawassul kepada Allah swt dengan amal-amal shalih yang pernah kami lakukan dahulu kala”. Maka berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya (ayah-ibu), baik pada keluarga atau hamba sahaya, maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan sayapun tidak akan memberikan itu kepada siapapun sebelum ayah bunda itu. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum dari susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis meminta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah, jika apa yang saya perbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhoan-Mu, maka lapangkanlah keaaan kami ini”. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya.
Kemudian, berdoalah yang kedua dari mereka: “Ya Allah, dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena rasa cinta kasihku itu, saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang meminta bantuan kepadaku, maka saya berikan kepadanya uang seratus dua puluh dinar, tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah swt dan janganlah kau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal’. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkna dinar mas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah, jika saya berbuat itu semata-semata hanya karena mengharap ridho-Mu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini”. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka masih belum dapat keluar dari gua tersebut.
Maka berdoalah orang ketiga dari mereka: “Ya Allah, saya dahulu sebagai majikan, mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segera ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga merupakan kekayaan. Kemudian setelah lama, datanglah buruh itu dan berkata: ‘Hai Abdullah, berikanlah kepadaku upahku yang dahulu itu!’ Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu daripada upahmu yang berupa unta, lembu dan kambing serta budak penggembalanya itu’. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah, kamu jangan mengejek kepadaku’. Jawabku: ‘Aku tidak mengejek kepadamu. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tidak meninggalka satupun daripadanya’. Ya Allah, jika saya berbuat itu hanya karena mengharapkan keridhoan-Mu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini”. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluarlah mereka dengan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sumber: Kitab Riyadhus Shalihin I
Dari sekelumit kisah di atas, dapat kita petik pelajaran bahwa sifat ikhlas yang hanya mengharapkan ridho Allah swt akan senantiasa mendapatkan balasan dari Allah swt. Dengan keikhlasan yang tertanam di dalam jiwa seorang muslim, niscaya Allah swt akan senantiasa memberikan kemudahan atau jalan keluar bagi setiap kesulitan dan berb
Niat Yang Ikhlas
Tak cukup hanya dengan memahami makna kata ikhlas. Mengetahui langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan demi mendapatkannya tentu sangat diperlukan.
Ada beberapa cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas.
1.Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal.
Menambah pengetahuan tentang Allah SWT dan hari kiamat.
Dengan mengetahui ilmu tentangNya,maka seseorang yang mengenal Allah dengan sebenar2nya tentulah ia tidak akan berani menyekutukan Allah dengan selainNya didalam niatnya. Ia juga akan mempertimbangkan amal-amalnya dan balasannya nanti diakhirat.
2.Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan Al Qur’an,karena Al Qur’an adalah penyembuh dari segala penyakit dalam dada (Q.S. Yunus;57) termasuk penyakit riya’,ujub dan sum’ah.
3.Memperbanyak amal-amal rahasia,sehingga kita terbiasa untuk beramal karena Allah semata tanpa diketahui orang lain.
4.Menghindari/mengurangi saling memuji,karena dengan pujian terkadang orang jadi lalai hatinya dan menjadi sombong.
5.Berdo’a,dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari syirik
Ada beberapa cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas.
1.Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal.
Menambah pengetahuan tentang Allah SWT dan hari kiamat.
Dengan mengetahui ilmu tentangNya,maka seseorang yang mengenal Allah dengan sebenar2nya tentulah ia tidak akan berani menyekutukan Allah dengan selainNya didalam niatnya. Ia juga akan mempertimbangkan amal-amalnya dan balasannya nanti diakhirat.
2.Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan Al Qur’an,karena Al Qur’an adalah penyembuh dari segala penyakit dalam dada (Q.S. Yunus;57) termasuk penyakit riya’,ujub dan sum’ah.
3.Memperbanyak amal-amal rahasia,sehingga kita terbiasa untuk beramal karena Allah semata tanpa diketahui orang lain.
4.Menghindari/mengurangi saling memuji,karena dengan pujian terkadang orang jadi lalai hatinya dan menjadi sombong.
5.Berdo’a,dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari syirik
Menguji Keikhlasan Niat
Ikhlas, melakukan segala sesuatu dengan niat hanya untuk Allah. Tentu hal ini sulit bagi sebagian kita. Selalu saja ada godaan melakukan sesuatu karena pamrih dengan yang lain. Mempelajari tentang makna kata ikhlas menjadi awal pemahaman yang semoga dapat membantu kita bisa mengamalkannya.
Secara bahasa,ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu,artinya maksud atau tujuan. Ikhlassunniyah berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah azza wa jalla sebagai tujuan dalam berbuat.Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beramal dan beribadah kepadaNya seperti yang tercantum dalam Q.S. Al Bayyinah;5 dan Q.S. Al A’raaf;110
Pentingnya Ikhlas
-Merupakan ruhnya amal,karena seperti badan yang tidak ada ruhnya,maka tanpa ikhlas amal,sebagus apapun tidak ada artinya.
-Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaanNya semata” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
-Ikhlas dalam berniat haruslah sesuai dengan syariat Islam (Al Quran dan Sunnah)
-Penentu nilai/kualitas suatu amal (Q.S.An NIsaa;125)
-Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah (Q.S.Al Baqarah;262 dan Q.S.An Nisaa;145-146)
Beberapa unsur dalam membentuk ikhlas:
1.Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan khaliq,bukan pandangan makhluk.Sebab sedikitpun mereka tidak ada artinya bagi Allah.
2.Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya,yang tampak dengan yang tersembunyi. Sary as Saqthy berkata,”Barangsiapa berhias dimata manusia dengan sesuatu yang tidak selayaknya,maka dia menjadi hina dimata Allah”
3.Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia. Engkau tidak lepas dari celaan manusia walaupun engkau terpuji disisi Allah.Begitu pula sebaliknya.
4.Tidak boleh memandang ikhlasnya,sehingga ia takjub kepada diri sendiri,sehingga ketakjubannya itu justru merusak dirinya. Maka dari itu,orang-orang arif menegaskan untuk tidak melihat amal diri sendiri. Sehingga Abu Ayyub As Susy berkata “Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup,berarti ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi”
5.Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat.
Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya,yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya.Menurut pandangan orang mukhlis,amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah SWT terhadap dirinya. Nabi SAW bersabda,”Sekali kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga.” Mereka bertanya “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “TIdak pula aku,kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku” (HR. Muttafaqun ‘alaih.)
6.Takut penyusupan riya dan hawa nafsu kedalam jiwa,sementara dia tidak menyadarinya.Sebab syetan itu mempunyai saluran yang terselubung dan ruwet,yang bisa dijadikan jalan untuk menyusup kedalam jiwa.
Secara bahasa,ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu,artinya maksud atau tujuan. Ikhlassunniyah berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah azza wa jalla sebagai tujuan dalam berbuat.Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beramal dan beribadah kepadaNya seperti yang tercantum dalam Q.S. Al Bayyinah;5 dan Q.S. Al A’raaf;110
Pentingnya Ikhlas
-Merupakan ruhnya amal,karena seperti badan yang tidak ada ruhnya,maka tanpa ikhlas amal,sebagus apapun tidak ada artinya.
-Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaanNya semata” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
-Ikhlas dalam berniat haruslah sesuai dengan syariat Islam (Al Quran dan Sunnah)
-Penentu nilai/kualitas suatu amal (Q.S.An NIsaa;125)
-Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah (Q.S.Al Baqarah;262 dan Q.S.An Nisaa;145-146)
Beberapa unsur dalam membentuk ikhlas:
1.Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan khaliq,bukan pandangan makhluk.Sebab sedikitpun mereka tidak ada artinya bagi Allah.
2.Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya,yang tampak dengan yang tersembunyi. Sary as Saqthy berkata,”Barangsiapa berhias dimata manusia dengan sesuatu yang tidak selayaknya,maka dia menjadi hina dimata Allah”
3.Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia. Engkau tidak lepas dari celaan manusia walaupun engkau terpuji disisi Allah.Begitu pula sebaliknya.
4.Tidak boleh memandang ikhlasnya,sehingga ia takjub kepada diri sendiri,sehingga ketakjubannya itu justru merusak dirinya. Maka dari itu,orang-orang arif menegaskan untuk tidak melihat amal diri sendiri. Sehingga Abu Ayyub As Susy berkata “Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup,berarti ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi”
5.Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat.
Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya,yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya.Menurut pandangan orang mukhlis,amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah SWT terhadap dirinya. Nabi SAW bersabda,”Sekali kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga.” Mereka bertanya “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “TIdak pula aku,kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku” (HR. Muttafaqun ‘alaih.)
6.Takut penyusupan riya dan hawa nafsu kedalam jiwa,sementara dia tidak menyadarinya.Sebab syetan itu mempunyai saluran yang terselubung dan ruwet,yang bisa dijadikan jalan untuk menyusup kedalam jiwa.
Menguji Kiekhlasan Niat
Ikhlas, melakukan segala sesuatu dengan niat hanya untuk Allah. Tentu hal ini sulit bagi sebagian kita. Selalu saja ada godaan melakukan sesuatu karena pamrih dengan yang lain. Mempelajari tentang makna kata ikhlas menjadi awal pemahaman yang semoga dapat membantu kita bisa mengamalkannya.
Secara bahasa,ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu,artinya maksud atau tujuan. Ikhlassunniyah berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah azza wa jalla sebagai tujuan dalam berbuat.Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beramal dan beribadah kepadaNya seperti yang tercantum dalam Q.S. Al Bayyinah;5 dan Q.S. Al A’raaf;110
Pentingnya Ikhlas
-Merupakan ruhnya amal,karena seperti badan yang tidak ada ruhnya,maka tanpa ikhlas amal,sebagus apapun tidak ada artinya.
-Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaanNya semata” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
-Ikhlas dalam berniat haruslah sesuai dengan syariat Islam (Al Quran dan Sunnah)
-Penentu nilai/kualitas suatu amal (Q.S.An NIsaa;125)
-Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah (Q.S.Al Baqarah;262 dan Q.S.An Nisaa;145-146)
Beberapa unsur dalam membentuk ikhlas:
1.Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan khaliq,bukan pandangan makhluk.Sebab sedikitpun mereka tidak ada artinya bagi Allah.
2.Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya,yang tampak dengan yang tersembunyi. Sary as Saqthy berkata,”Barangsiapa berhias dimata manusia dengan sesuatu yang tidak selayaknya,maka dia menjadi hina dimata Allah”
3.Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia. Engkau tidak lepas dari celaan manusia walaupun engkau terpuji disisi Allah.Begitu pula sebaliknya.
4.Tidak boleh memandang ikhlasnya,sehingga ia takjub kepada diri sendiri,sehingga ketakjubannya itu justru merusak dirinya. Maka dari itu,orang-orang arif menegaskan untuk tidak melihat amal diri sendiri. Sehingga Abu Ayyub As Susy berkata “Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup,berarti ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi”
5.Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat.
Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya,yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya.Menurut pandangan orang mukhlis,amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah SWT terhadap dirinya. Nabi SAW bersabda,”Sekali kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga.” Mereka bertanya “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “TIdak pula aku,kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku” (HR. Muttafaqun ‘alaih.)
6.Takut penyusupan riya dan hawa nafsu kedalam jiwa,sementara dia tidak menyadarinya.Sebab syetan itu mempunyai saluran yang terselubung dan ruwet,yang bisa dijadikan jalan untuk menyusup kedalam jiwa.
Secara bahasa,ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu,artinya maksud atau tujuan. Ikhlassunniyah berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah azza wa jalla sebagai tujuan dalam berbuat.Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beramal dan beribadah kepadaNya seperti yang tercantum dalam Q.S. Al Bayyinah;5 dan Q.S. Al A’raaf;110
Pentingnya Ikhlas
-Merupakan ruhnya amal,karena seperti badan yang tidak ada ruhnya,maka tanpa ikhlas amal,sebagus apapun tidak ada artinya.
-Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaanNya semata” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
-Ikhlas dalam berniat haruslah sesuai dengan syariat Islam (Al Quran dan Sunnah)
-Penentu nilai/kualitas suatu amal (Q.S.An NIsaa;125)
-Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah (Q.S.Al Baqarah;262 dan Q.S.An Nisaa;145-146)
Beberapa unsur dalam membentuk ikhlas:
1.Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan khaliq,bukan pandangan makhluk.Sebab sedikitpun mereka tidak ada artinya bagi Allah.
2.Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya,yang tampak dengan yang tersembunyi. Sary as Saqthy berkata,”Barangsiapa berhias dimata manusia dengan sesuatu yang tidak selayaknya,maka dia menjadi hina dimata Allah”
3.Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia. Engkau tidak lepas dari celaan manusia walaupun engkau terpuji disisi Allah.Begitu pula sebaliknya.
4.Tidak boleh memandang ikhlasnya,sehingga ia takjub kepada diri sendiri,sehingga ketakjubannya itu justru merusak dirinya. Maka dari itu,orang-orang arif menegaskan untuk tidak melihat amal diri sendiri. Sehingga Abu Ayyub As Susy berkata “Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup,berarti ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi”
5.Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat.
Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya,yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya.Menurut pandangan orang mukhlis,amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah SWT terhadap dirinya. Nabi SAW bersabda,”Sekali kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga.” Mereka bertanya “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “TIdak pula aku,kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku” (HR. Muttafaqun ‘alaih.)
6.Takut penyusupan riya dan hawa nafsu kedalam jiwa,sementara dia tidak menyadarinya.Sebab syetan itu mempunyai saluran yang terselubung dan ruwet,yang bisa dijadikan jalan untuk menyusup kedalam jiwa.
Sebuah Cerminan Kisah Tentang Ikhlas
Sore hari udara segar berhembus, seorang pemuda telah menunaikan sholat Ashar di masjid Al-Hikmah. Pandangannya menyapu jalanan. Tidak banyak orang berlalu lalang di jalan. Terlihat kakek sedang beristirahat keletihan. Sepeda dengan sekarung besar rumput tergeletak disebelahnya. Wajahnya terlihat hitam terbakar oleh matahari. Seharian kakek mencari rumput untuk makan kambingnya. Beberapa kali kakek itu mendirikan sepeda tuanya tetapi terjatuh. Tak kuasa tubuhnya rapuh menahan beban berat. Wajah kakek meringis menahan kesakitan, mengiba seperti hendak minta pertolongan.
Melihat pemandangan seperti itu, pemuda yang dari tadi memperhatikan merasa terpanggil. Segera berlari menolong sang kakek, dengan sekuat tenaga dia mendirikan sepeda tuanya. Sekarung rumput diikatkan dibelakangnya. Setelah sepeda berdiri pemuda itu menuntunnya. Bercucuran keringat dipelipisnya. Tergopoh-gopoh pemuda membantu kakek menaiki sepedanya. Semangatnya berbuat baik telah mengalahkan semua keletihan yang dirasakan. Awalnya dia mengira akan melihat kakek tua itu tersenyum dan mengucapkan 'terima kasih ya nak..' Ternyata setengah merebut sepeda, kakek itu mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar telinga. Wajahnya bermuka masam tak sedap untuk dipandang.
Pemuda itu terperanjat melihat sikap sang kakek, berkali-kali dirinya beristighfar. Wajahnya terlihat memerah, berdiri mematung. Sikap kakek yang kasar telah membuatnya syok, kaget dan terkejut. 'Apakah ada yang salah dari perbuatan saya?' tanya pemuda itu dalam hati. pemuda itu membisu dan bersedih menyaksikan kakek yang pergi meninggalkan dirinnya dengan berlalu begitu saja. Pemuda itu mencari makna. 'barangkali inilah makna ikhlas,' ucapnya lirih.
Dengan langkah gontai menuju Rumah Amalia. Sesampainya di Rumah Amalia, pemuda itu bercerita pada saya, apa saja yang telah dialaminya. Saya katakan padanya, Dalam Surat At-Thuur ayat 21, Alloh SWT berfirman, '..dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.'
'Jadi jangan pernah berharap apapun atau balasan dari perbuatan baik yang telah kita lakukan. Walaupun sekedar ucapan terima kasih maupun senyuman dari orang yang telah kita tolong. Lakukanlah semata-mata karena Alloh SWT itulah makna ikhlas. Tidak perbuatan baik yang sia-sia.' tutur saya padanya.
Malam temaram telah menyelemuti. Hatinya melihat secercah mutiara hikmah yang ditemukan pada hari ini. Wajahnya berhiaskan senyum. 'Subhanallah..'Ucapnya berkali-kali. Mutiara hikmah bukan hanya ditemukan untuk pemuda itu saja namun juga buat saya. Makna ikhlas begitu teramat dalam. Sebuah perbuatan baik yang kita lakukan tidaklah berharap untuk mendapatkan pujian atau balasan dari orang lain sekalipun perbuatan baik itu kita lakukan kepada pasangan hidup kita dan juga anak kita sendiri sekalipun sebab Alloh SWT memuliakan kita dari perbuatan baik yang telah kita lakukan.
--
Dalam Surat At-Thuur ayat 21, Alloh SWT berfirman, '..dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.'
Wassalam,
Melihat pemandangan seperti itu, pemuda yang dari tadi memperhatikan merasa terpanggil. Segera berlari menolong sang kakek, dengan sekuat tenaga dia mendirikan sepeda tuanya. Sekarung rumput diikatkan dibelakangnya. Setelah sepeda berdiri pemuda itu menuntunnya. Bercucuran keringat dipelipisnya. Tergopoh-gopoh pemuda membantu kakek menaiki sepedanya. Semangatnya berbuat baik telah mengalahkan semua keletihan yang dirasakan. Awalnya dia mengira akan melihat kakek tua itu tersenyum dan mengucapkan 'terima kasih ya nak..' Ternyata setengah merebut sepeda, kakek itu mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar telinga. Wajahnya bermuka masam tak sedap untuk dipandang.
Pemuda itu terperanjat melihat sikap sang kakek, berkali-kali dirinya beristighfar. Wajahnya terlihat memerah, berdiri mematung. Sikap kakek yang kasar telah membuatnya syok, kaget dan terkejut. 'Apakah ada yang salah dari perbuatan saya?' tanya pemuda itu dalam hati. pemuda itu membisu dan bersedih menyaksikan kakek yang pergi meninggalkan dirinnya dengan berlalu begitu saja. Pemuda itu mencari makna. 'barangkali inilah makna ikhlas,' ucapnya lirih.
Dengan langkah gontai menuju Rumah Amalia. Sesampainya di Rumah Amalia, pemuda itu bercerita pada saya, apa saja yang telah dialaminya. Saya katakan padanya, Dalam Surat At-Thuur ayat 21, Alloh SWT berfirman, '..dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.'
'Jadi jangan pernah berharap apapun atau balasan dari perbuatan baik yang telah kita lakukan. Walaupun sekedar ucapan terima kasih maupun senyuman dari orang yang telah kita tolong. Lakukanlah semata-mata karena Alloh SWT itulah makna ikhlas. Tidak perbuatan baik yang sia-sia.' tutur saya padanya.
Malam temaram telah menyelemuti. Hatinya melihat secercah mutiara hikmah yang ditemukan pada hari ini. Wajahnya berhiaskan senyum. 'Subhanallah..'Ucapnya berkali-kali. Mutiara hikmah bukan hanya ditemukan untuk pemuda itu saja namun juga buat saya. Makna ikhlas begitu teramat dalam. Sebuah perbuatan baik yang kita lakukan tidaklah berharap untuk mendapatkan pujian atau balasan dari orang lain sekalipun perbuatan baik itu kita lakukan kepada pasangan hidup kita dan juga anak kita sendiri sekalipun sebab Alloh SWT memuliakan kita dari perbuatan baik yang telah kita lakukan.
--
Dalam Surat At-Thuur ayat 21, Alloh SWT berfirman, '..dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.'
Wassalam,
Makna Ikhlas
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Alkisah.. he..he... Hus! serius, maaf sekarang serius nih.
Begini ceritanya ada abang ama adik sang abang bekas seorang preman pokoke gitu deh gak usah didefinisiin seorang preman nah sang adik ini kebalikan dari abangnya pokoe sholeh dah definisiin sendiri dah.. .
selang beberapa tahun sang abang insyaf alias pensiun dari kepremanannya. Mulailah ia berpetualang mencari-cari jati diri keislamamannya,setelah sekian lama tanpa sengaja ia mendengar ceramah Ust.Yusuf Mansur di TV trus dia cari-cari cd ceramah Ust tersebut disebuah mall dan ia mendapatkannya walaupun bajakan ( ga papa kan ust. he..he..) saking inginnya memperdalam ilmu dengan ust. tersebut ia mendaftarkan diri mengikuti kuliah online wisata hati ( promosi nih.. bukan, cuma iklan kok.. sama aja donk he..he..)
Ia pernah membaca buku MENCARI TUHAN YANG HILANG karangan ust tersebut ( promosi lagi nih... au ah gelap) dalam buku tersebut ia terinspirasi tentang ust. memelihara anak yatim yang akhirnya menjadi istri ust. tersebut. nah kebetulan sang adik pengurus salah satu pengurus masjid dan ia membidangi masalah anak2 asuh khususnya anak yatim yang masih bersekolah, kalau ada data anak asuh/yatim yang baru biasanya sang adik maen kerumah sang abang untuk minjem komputer sang abang sekalian di print dan semua data2 anak asuh/yatim tersebut ada dikomputer sang abang, adik bilang bang data saya yang ada dikomputer abang jangan dihapus, abang bilang ok d kk. singkatnya begini tanpa sepengetahuan sang adik sang abang tersebut membuka file data2 anak asuh ia bermaksud ingin menjadi donatur anak2 asuh tersebut setelah sekian lama ia mencari akhirnya ia mendapatkan 2 orang nama, anak tersebut yatim dan masih kecil sekolahnya masih kelas 3 SD. sang abang tersebut berniat kalau minggu depan ia dapat rizki ia mau membagi rizki kepada 2 anak yatim tersebut, ternyata Allah mengabulkan do'a abang tersebut ia dapat proyek disuruh ngerakit komputer dan selanjutnya, dan selanjutnya bla bla.. bla.. ( panjang banget kalo diceritain, pokoe gitu deh bukan KOK GITU SIH he..he.. ), pas malam Jum'at dengan berbekal data alamat anak asuh adiknya berangkat ia dengan menggendong anaknya menuju anak asuh yang pertama " Assalamu'alaikum.. maaf bu apa benar ini rumahnya fulan1 yang menjadi anak asuh Masjid Darussalam, Waa'laikumsalam ya benar, maaf bu ada titipan dari Masjid Darussalam begitu juga dengan anak asuh yang kedua, menurut pandangan orang tuanya oh.. orang suruhan dari Masjid, Padahal itu uang pribadinya.
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Alkisah.. he..he... Hus! serius, maaf sekarang serius nih.
Begini ceritanya ada abang ama adik sang abang bekas seorang preman pokoke gitu deh gak usah didefinisiin seorang preman nah sang adik ini kebalikan dari abangnya pokoe sholeh dah definisiin sendiri dah.. .
selang beberapa tahun sang abang insyaf alias pensiun dari kepremanannya. Mulailah ia berpetualang mencari-cari jati diri keislamamannya,setelah sekian lama tanpa sengaja ia mendengar ceramah Ust.Yusuf Mansur di TV trus dia cari-cari cd ceramah Ust tersebut disebuah mall dan ia mendapatkannya walaupun bajakan ( ga papa kan ust. he..he..) saking inginnya memperdalam ilmu dengan ust. tersebut ia mendaftarkan diri mengikuti kuliah online wisata hati ( promosi nih.. bukan, cuma iklan kok.. sama aja donk he..he..)
Ia pernah membaca buku MENCARI TUHAN YANG HILANG karangan ust tersebut ( promosi lagi nih... au ah gelap) dalam buku tersebut ia terinspirasi tentang ust. memelihara anak yatim yang akhirnya menjadi istri ust. tersebut. nah kebetulan sang adik pengurus salah satu pengurus masjid dan ia membidangi masalah anak2 asuh khususnya anak yatim yang masih bersekolah, kalau ada data anak asuh/yatim yang baru biasanya sang adik maen kerumah sang abang untuk minjem komputer sang abang sekalian di print dan semua data2 anak asuh/yatim tersebut ada dikomputer sang abang, adik bilang bang data saya yang ada dikomputer abang jangan dihapus, abang bilang ok d kk. singkatnya begini tanpa sepengetahuan sang adik sang abang tersebut membuka file data2 anak asuh ia bermaksud ingin menjadi donatur anak2 asuh tersebut setelah sekian lama ia mencari akhirnya ia mendapatkan 2 orang nama, anak tersebut yatim dan masih kecil sekolahnya masih kelas 3 SD. sang abang tersebut berniat kalau minggu depan ia dapat rizki ia mau membagi rizki kepada 2 anak yatim tersebut, ternyata Allah mengabulkan do'a abang tersebut ia dapat proyek disuruh ngerakit komputer dan selanjutnya, dan selanjutnya bla bla.. bla.. ( panjang banget kalo diceritain, pokoe gitu deh bukan KOK GITU SIH he..he.. ), pas malam Jum'at dengan berbekal data alamat anak asuh adiknya berangkat ia dengan menggendong anaknya menuju anak asuh yang pertama " Assalamu'alaikum.. maaf bu apa benar ini rumahnya fulan1 yang menjadi anak asuh Masjid Darussalam, Waa'laikumsalam ya benar, maaf bu ada titipan dari Masjid Darussalam begitu juga dengan anak asuh yang kedua, menurut pandangan orang tuanya oh.. orang suruhan dari Masjid, Padahal itu uang pribadinya.
Meraih Kesempurnaan Ikhlas
“Dan mereka tidak diperintah, kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan di dalam menjalankan ajaran agama”. (al-Bayyinah:5)
Keikhlasan adalah inti dan ruh peribadatan. Ibnu Hazm berkata, niat adalah rahasia peribadatan. Kedudukan niat terhadap amal sama dengan kedudukan ruh terhadap jasad. Mustahil apabila peribadatan itu hanya berupa amalan yang tidak ada ruhnya sama sekali, seperti jasad yang teronggok.
Ikhlas adalah dasar diterima atau ditolaknya suatu amalan, dan juga kunci untuk menuju kemenangan atau kerugian yang abadi, jalan menuju sorga atau neraka. Manakala keikhlasannya itu cacat maka ia akan membawa pelakunya menuju neraka, tetapi manakala keikhlasan bisa terealisasikan maka ia akan membawa pelakunya menuju sorga.
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (al-Kahfi:110)
Makna Ikhlas
Ikhlas berasal dari kata khalasha, maknanya yaitu kejernihan dan hilangnya segala sesuatu yang mengotorinya. Dengan demikian, kata ikhlash menunjukkan kepada sesuatu yang jernih, bersih dan bebas dari campuran dan kotoran. Di antara makna ikhlas menurutb ulama’ adalah “Amal yang dilakukan hanya karena Allah, tidak untuk selain Allah”
Orang yang Ikhlas (mukhlis) adalah orang yang tidak peduli apakah keluar seluruh kemampuannya di hati orang lain karena kebenaran hatinya terhadap Allah, dan dia tidak ingin menampakkan amalnya meskipun hanya sebiji sawi kepada orang lain
Beratnya Meraih Kesempurnaan Ikhlas
Para salaf mengakui, bahwa merealisasikan ikhlas dan memperbaiki niat adalah perkara yang sangat sulit. Ini dikarenakan hati kita memiliki sifat suka berubah dan berbolak-balik, sehingga bisa jadi seseorang pada mulanya berniat ikhlas, namun di tengah jalan niatnya ternodai atau bahkan berubah. Demikian pula sebaliknya ada yang mulanya salah dalam niat, namun akhirnya tahu akan kekeliruannya, lalu memperbaiki niat tersebut.
Maka mengetahui berbagai persoalan yang berkaitan dengan keikhlasan amat perlu bagi kita, sebagai salah satu upaya menjaga hati, agar senantiasa lurus tertuju kepada Allah. Tidak goyah oleh segala gangguan dan godaan, baik was-was syetan maupun segala yang dicenderungi oleh hawa nafsu.
Keikhlasan yang sempurna amat-lah sulit digambarkan, kecuali oleh orang yang telah menyerahkan cinta-nya secara utuh kepada Allah dan mengutamakan akhirat. Apalagi mengingat, bahwa manusia memiliki sifat banyak lupa dan mempunyai kecenderungan yang besar terhadap kehidupan duniawi, bahkan banyak pula yang terpedaya olehnya.
Biasanya keikhlasan akan sulit untuk menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan kehidupan dunia, kecuali atas taufik dari Allah. Jangan jauh-jauh, kita tengok dalam hati kita masing-masing dalam hal yang ringan saja, seperti makan atau tidur misalnya, kita melakukan itu biasanya karena memang kita menginginkannya. Jarang terbetik di dalam pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat dan sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik. Demikian pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering merasakan adanya berbagai bisikan dan gangguan yang menggerogoti kemurnian niat ikhlas kita kepada Allah.
Maka selayaknya masing-masing kita bersikap waspada, membentengi diri, memusatkan niat dan tujuan pada keikhlasan yang sempurna, jangan hiraukan was-was syetan, sebab was-was dan bisikan syetan akan menghancurkan dan melemahkan kita. Dan ketika amal-amal shaleh yang kita kerjakan terkena polusi, maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran tersebut dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut menjadi benar-benar jernih dan tidak hilang pahalanya.
Bila Keikhlasan Ternodai
Bagaimana seseorang bersikap, apabila keikhlasan suatu amal yang dia kerjakan ternodai? Sebab tak jarang orang yang menghadapi masalah ini lantas surut dari berbuat kebaikan, khawatir terkena riya’.
Abu Thalib al-Makki berkata, “Seseorang tidak boleh meninggalkan amal shalih karena takut terkena penyakit pada amal, karena memang itulah yang dikehendakai oleh musuhnya (syetan). Tetapi dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar. Jika amal tersebut tersusupi oleh penyakit, maka hendaknya ia segera mencari obatnya, berusaha menghilangkannya dan tetap pada niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak boleh meninggalkan suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap mereka. Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya karena mereka adalah riya’. Meninggalkan amal karena khawatir akan masuknya penyakit (riya’) di dalam hati adalah kebodohan, dan meninggalkannya ketika amal tersebut sedang dilakukan (karena keikhlasannya terganggu) adalah suatu kelemahan. Siapa saja yang beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena Allah, maka tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini, tentunya setelah ia dapat mebuang jauh jauh segala niat buruk. ”
Dapatkah Niat yang Rusak Diperbaiki?
Sebagian orang ada yang menyangka, bahwa apabila amal kebaikan dimulai dengan niat yang salah, maka amal tersebut harus ditinggalkan. Ini adalah anggapan yang salah. Niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal perbuatan tersebut, tanpa harus meninggalkannya. Sebagian salaf ada yang pernah mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar, kemudian mereka menyadari dan akhirnya kembali kepada Allah serta memperbaiki niat mereka, memulai niat menuntut ilmu dengan niat yang benar.
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Para salaf mencari ilmu karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang diteladani.” Ada juga di antara mereka yang mulanya mencari ilmu bukan karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu mereka introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka kepada keikhlasan di tengah jalan. Mujahid berkata, “Kami mencari ilmu, dan pada mulanya kami tidak memiliki niat yang benar, kemudian Allah mengaruniakan niat kepada kami.”
Keikhlasan Yang Ternodai
Seseorang yang telah berusaha beramal dengan ikhlas, namun ternyata masih ada noda yang mengotorinya, seperti kealpaan atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang secara keseluruhan. Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya, sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan kesempitan hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini sangat sulit dihilangkan, kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian bukan berarti, bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal, ia tetap membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempurnaannya, namun tidak sampai kepada tingkat menghapuskannya sama sekali.
Oleh karena itu seorang hamba setelah berusaha semaksimal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara ditolak dan diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terdapat penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya. Karena itu jangan sampai ada ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan terus meningkatkan kualitasnya.
Memperlihatkan Amal Kebaikan
Memang, pada dasarnya amal kabaikan haruslah disembunyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain, kecuali yang memang harus ditampakkan seperti shalat berjama’ah dan haji. Namun dalam keadaan tertentu memperlihatkan amal shalih dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:
Pertama, bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)
Kedua, terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.
Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguatkan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan memberikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Sufyan bin Harits, salah seorang paman Nabi menjelang wafatnya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam aku tidak pernah melakukan dosa.”
Keikhlasan adalah inti dan ruh peribadatan. Ibnu Hazm berkata, niat adalah rahasia peribadatan. Kedudukan niat terhadap amal sama dengan kedudukan ruh terhadap jasad. Mustahil apabila peribadatan itu hanya berupa amalan yang tidak ada ruhnya sama sekali, seperti jasad yang teronggok.
Ikhlas adalah dasar diterima atau ditolaknya suatu amalan, dan juga kunci untuk menuju kemenangan atau kerugian yang abadi, jalan menuju sorga atau neraka. Manakala keikhlasannya itu cacat maka ia akan membawa pelakunya menuju neraka, tetapi manakala keikhlasan bisa terealisasikan maka ia akan membawa pelakunya menuju sorga.
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (al-Kahfi:110)
Makna Ikhlas
Ikhlas berasal dari kata khalasha, maknanya yaitu kejernihan dan hilangnya segala sesuatu yang mengotorinya. Dengan demikian, kata ikhlash menunjukkan kepada sesuatu yang jernih, bersih dan bebas dari campuran dan kotoran. Di antara makna ikhlas menurutb ulama’ adalah “Amal yang dilakukan hanya karena Allah, tidak untuk selain Allah”
Orang yang Ikhlas (mukhlis) adalah orang yang tidak peduli apakah keluar seluruh kemampuannya di hati orang lain karena kebenaran hatinya terhadap Allah, dan dia tidak ingin menampakkan amalnya meskipun hanya sebiji sawi kepada orang lain
Beratnya Meraih Kesempurnaan Ikhlas
Para salaf mengakui, bahwa merealisasikan ikhlas dan memperbaiki niat adalah perkara yang sangat sulit. Ini dikarenakan hati kita memiliki sifat suka berubah dan berbolak-balik, sehingga bisa jadi seseorang pada mulanya berniat ikhlas, namun di tengah jalan niatnya ternodai atau bahkan berubah. Demikian pula sebaliknya ada yang mulanya salah dalam niat, namun akhirnya tahu akan kekeliruannya, lalu memperbaiki niat tersebut.
Maka mengetahui berbagai persoalan yang berkaitan dengan keikhlasan amat perlu bagi kita, sebagai salah satu upaya menjaga hati, agar senantiasa lurus tertuju kepada Allah. Tidak goyah oleh segala gangguan dan godaan, baik was-was syetan maupun segala yang dicenderungi oleh hawa nafsu.
Keikhlasan yang sempurna amat-lah sulit digambarkan, kecuali oleh orang yang telah menyerahkan cinta-nya secara utuh kepada Allah dan mengutamakan akhirat. Apalagi mengingat, bahwa manusia memiliki sifat banyak lupa dan mempunyai kecenderungan yang besar terhadap kehidupan duniawi, bahkan banyak pula yang terpedaya olehnya.
Biasanya keikhlasan akan sulit untuk menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan kehidupan dunia, kecuali atas taufik dari Allah. Jangan jauh-jauh, kita tengok dalam hati kita masing-masing dalam hal yang ringan saja, seperti makan atau tidur misalnya, kita melakukan itu biasanya karena memang kita menginginkannya. Jarang terbetik di dalam pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat dan sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik. Demikian pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering merasakan adanya berbagai bisikan dan gangguan yang menggerogoti kemurnian niat ikhlas kita kepada Allah.
Maka selayaknya masing-masing kita bersikap waspada, membentengi diri, memusatkan niat dan tujuan pada keikhlasan yang sempurna, jangan hiraukan was-was syetan, sebab was-was dan bisikan syetan akan menghancurkan dan melemahkan kita. Dan ketika amal-amal shaleh yang kita kerjakan terkena polusi, maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran tersebut dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut menjadi benar-benar jernih dan tidak hilang pahalanya.
Bila Keikhlasan Ternodai
Bagaimana seseorang bersikap, apabila keikhlasan suatu amal yang dia kerjakan ternodai? Sebab tak jarang orang yang menghadapi masalah ini lantas surut dari berbuat kebaikan, khawatir terkena riya’.
Abu Thalib al-Makki berkata, “Seseorang tidak boleh meninggalkan amal shalih karena takut terkena penyakit pada amal, karena memang itulah yang dikehendakai oleh musuhnya (syetan). Tetapi dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar. Jika amal tersebut tersusupi oleh penyakit, maka hendaknya ia segera mencari obatnya, berusaha menghilangkannya dan tetap pada niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak boleh meninggalkan suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap mereka. Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya karena mereka adalah riya’. Meninggalkan amal karena khawatir akan masuknya penyakit (riya’) di dalam hati adalah kebodohan, dan meninggalkannya ketika amal tersebut sedang dilakukan (karena keikhlasannya terganggu) adalah suatu kelemahan. Siapa saja yang beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena Allah, maka tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini, tentunya setelah ia dapat mebuang jauh jauh segala niat buruk. ”
Dapatkah Niat yang Rusak Diperbaiki?
Sebagian orang ada yang menyangka, bahwa apabila amal kebaikan dimulai dengan niat yang salah, maka amal tersebut harus ditinggalkan. Ini adalah anggapan yang salah. Niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal perbuatan tersebut, tanpa harus meninggalkannya. Sebagian salaf ada yang pernah mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar, kemudian mereka menyadari dan akhirnya kembali kepada Allah serta memperbaiki niat mereka, memulai niat menuntut ilmu dengan niat yang benar.
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Para salaf mencari ilmu karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang diteladani.” Ada juga di antara mereka yang mulanya mencari ilmu bukan karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu mereka introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka kepada keikhlasan di tengah jalan. Mujahid berkata, “Kami mencari ilmu, dan pada mulanya kami tidak memiliki niat yang benar, kemudian Allah mengaruniakan niat kepada kami.”
Keikhlasan Yang Ternodai
Seseorang yang telah berusaha beramal dengan ikhlas, namun ternyata masih ada noda yang mengotorinya, seperti kealpaan atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang secara keseluruhan. Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya, sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan kesempitan hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini sangat sulit dihilangkan, kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian bukan berarti, bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal, ia tetap membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempurnaannya, namun tidak sampai kepada tingkat menghapuskannya sama sekali.
Oleh karena itu seorang hamba setelah berusaha semaksimal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara ditolak dan diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terdapat penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya. Karena itu jangan sampai ada ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan terus meningkatkan kualitasnya.
Memperlihatkan Amal Kebaikan
Memang, pada dasarnya amal kabaikan haruslah disembunyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain, kecuali yang memang harus ditampakkan seperti shalat berjama’ah dan haji. Namun dalam keadaan tertentu memperlihatkan amal shalih dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:
Pertama, bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)
Kedua, terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.
Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguatkan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan memberikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Sufyan bin Harits, salah seorang paman Nabi menjelang wafatnya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam aku tidak pernah melakukan dosa.”
Makna Hakiki Ikhlas
Makna Ikhlas
Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.
Allah berfirman yang artinya,
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”
Apa Itu Ikhlas ?Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?Saudaraku, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah hadits ini wahai Saudaraku, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)
Renungkanlah sabda beliau ini wahai saudaraku, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.
Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena IkhlasWahai Saudaraku yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)
Lihatlah Wahai Saudaraku, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
Buah dari IkhlasUntuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya.
Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya:Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24).
Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai Saudaraku, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.Dan semoga Allah senantiasa karuniakan keikhlasan hati buat kita Semua. Amin ya Rabbal alamin.
Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.
Allah berfirman yang artinya,
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”
Apa Itu Ikhlas ?Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?Saudaraku, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah hadits ini wahai Saudaraku, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)
Renungkanlah sabda beliau ini wahai saudaraku, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.
Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena IkhlasWahai Saudaraku yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)
Lihatlah Wahai Saudaraku, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
Buah dari IkhlasUntuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya.
Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya:Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24).
Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai Saudaraku, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.Dan semoga Allah senantiasa karuniakan keikhlasan hati buat kita Semua. Amin ya Rabbal alamin.
Ilmu Ikhlas
Adakah Ilmu Ikhlas Itu?
Published Sunday, December 04, 2005 by kemplu | E-mail this post
E-mail this post
Remember me (?)
All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...
Sebenarnya adakah ilmu ikhlas itu? Saya pernah melihat sebuah film yang menceritakan tentang seseorang yang dengan gigihnya mengejar seorang gadis anak seorang kyai. Dengan kenekatannya di berusaha mendekati gadis itu, biarpun ada halangan dari orangtua si gadis. Dia tetap nekat biarpun kyai bapak gadis tadi mengajukan syarat-syarat yang mungkin dirasa berat bagi orang yang tidak biasa melakukan. Tetapi demi mendapatkan seseorang yang dicintai, maka seberat apapun syarat tersebut ia sanggupi juga. Maka rangkaian kejadian yang lucu, mengharukan, bahkan konyol terjadi dalam film tadi. Bagaimana si pemuda tadi belajar untuk menjalankan syarat yang diajukan ayah si gadis. Sampai akhirnya tibalah penentuan tersebut. Ternyata si gadis telah dijodohkan oleh pemuda lain yang menurut pandangan dari pak kyai lebih memenuhi syarat sebagai manantunya. Dan pak kyai mengajukan satu syarat lagi yaitu si pemuda harus menguasai apa yang dinamakan ilmu ikhlas, yang ternyata maksud dari pak kyai adalah bahwa si pemuda harus mengikhlaskan jikalau si gadis telah dijodohkan dengan orang lain. Dengan ketabahan dan gentle maka si pemuda pun tidak keberatan jika si gadis telah mempunyai jodoh yang lain selain dirinya. Dia telah mengikhlaskan kalau si gadis memang bukan untuknya. Tetapi ternyata pak kyai malah terkesan dengan apa yang dilakukan oleh pemuda tadi. Menurut pak kyai dialah yang telah dapat menguasai apa yang di namakan ilmu ikhlas. Akhirnya bisa ditebak ending dari film tadi.
Kalau kita lihat berdasarkan paparan diatas memang apa yang dinamakan ilmu ikhlas itu adalah sesuatu yang harus kita relakan kalau memang itu belum menjadi hak kita. Tetapi kadang kita sebagai manusia yang penuh dengan ego yang tinggi tidak bisa terima dan mungkin akan menyalahkan orang lain apabila tujuan atau sesuatu yang kita harapkan tidak kita dapatkan. Dan hal itu sering terjadi pada kita sebagai manusia yang penuh dengan ketidak sempurnaan. Seringkali malah terjadi penipuan pada hati kecil kita. Kita sering berkata pada orang lain bahwa kita rela melepas sesuatu entah itu apa, tetapi dalam hati kecil kita masih tidak rela kenapa hal itu bisa terjadi, apa yang menjadi kesalahan kita sehingga sesuatu yang kita harapkan ternyata tidak bisa kita raih, atau kita ambil.
Itulah kelemahan kita sebagai manusia biasa, yang kadang dengan kecongkakan dan kepongahan kadang lupa bahwa masih ada yang mengatur kita sesuai jalur yang ada. Kita sebagai manusia masih sering lupa bahwa dibalik semua yang terjadi akan ada hikmah yang mungkin akan kita ketahui kelak di kemudian hari. Perkataan orang yang mengatakan bahwa kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan saya percaya itu
Published Sunday, December 04, 2005 by kemplu | E-mail this post
E-mail this post
Remember me (?)
All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...
Sebenarnya adakah ilmu ikhlas itu? Saya pernah melihat sebuah film yang menceritakan tentang seseorang yang dengan gigihnya mengejar seorang gadis anak seorang kyai. Dengan kenekatannya di berusaha mendekati gadis itu, biarpun ada halangan dari orangtua si gadis. Dia tetap nekat biarpun kyai bapak gadis tadi mengajukan syarat-syarat yang mungkin dirasa berat bagi orang yang tidak biasa melakukan. Tetapi demi mendapatkan seseorang yang dicintai, maka seberat apapun syarat tersebut ia sanggupi juga. Maka rangkaian kejadian yang lucu, mengharukan, bahkan konyol terjadi dalam film tadi. Bagaimana si pemuda tadi belajar untuk menjalankan syarat yang diajukan ayah si gadis. Sampai akhirnya tibalah penentuan tersebut. Ternyata si gadis telah dijodohkan oleh pemuda lain yang menurut pandangan dari pak kyai lebih memenuhi syarat sebagai manantunya. Dan pak kyai mengajukan satu syarat lagi yaitu si pemuda harus menguasai apa yang dinamakan ilmu ikhlas, yang ternyata maksud dari pak kyai adalah bahwa si pemuda harus mengikhlaskan jikalau si gadis telah dijodohkan dengan orang lain. Dengan ketabahan dan gentle maka si pemuda pun tidak keberatan jika si gadis telah mempunyai jodoh yang lain selain dirinya. Dia telah mengikhlaskan kalau si gadis memang bukan untuknya. Tetapi ternyata pak kyai malah terkesan dengan apa yang dilakukan oleh pemuda tadi. Menurut pak kyai dialah yang telah dapat menguasai apa yang di namakan ilmu ikhlas. Akhirnya bisa ditebak ending dari film tadi.
Kalau kita lihat berdasarkan paparan diatas memang apa yang dinamakan ilmu ikhlas itu adalah sesuatu yang harus kita relakan kalau memang itu belum menjadi hak kita. Tetapi kadang kita sebagai manusia yang penuh dengan ego yang tinggi tidak bisa terima dan mungkin akan menyalahkan orang lain apabila tujuan atau sesuatu yang kita harapkan tidak kita dapatkan. Dan hal itu sering terjadi pada kita sebagai manusia yang penuh dengan ketidak sempurnaan. Seringkali malah terjadi penipuan pada hati kecil kita. Kita sering berkata pada orang lain bahwa kita rela melepas sesuatu entah itu apa, tetapi dalam hati kecil kita masih tidak rela kenapa hal itu bisa terjadi, apa yang menjadi kesalahan kita sehingga sesuatu yang kita harapkan ternyata tidak bisa kita raih, atau kita ambil.
Itulah kelemahan kita sebagai manusia biasa, yang kadang dengan kecongkakan dan kepongahan kadang lupa bahwa masih ada yang mengatur kita sesuai jalur yang ada. Kita sebagai manusia masih sering lupa bahwa dibalik semua yang terjadi akan ada hikmah yang mungkin akan kita ketahui kelak di kemudian hari. Perkataan orang yang mengatakan bahwa kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan saya percaya itu
Hati Yang Ikhlas
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, yang berkuasa membolak-balikkan hati anak Adam bagaimanapun Dia inginkan. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman dan pembawa lentera bimbingan untuk membangkitkan kesadaran hati manusia yang telah lalai dan lupa akan hakekat kehidupan. Amma ba’du.
Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan pertolongan… sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan… kita sangat memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana yang disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)
Hati yang ikhlas itulah yang selamat
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam kebid’ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])
Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya, “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)
Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Gara-Gara Tidak Ikhlas
Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang penduduk Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah menjawab, “Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah: [Yang pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”
(HR. Muslim [1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])
Hadits yang agung ini memberikan faedah bagi kita, di antaranya:
[1] Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang dan demi mendapatkan sanjungan- adalah dosa yang sangat diharamkan dan sangat berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]). Riya’ merupakan bahaya yang lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpa orang-orang salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda, “Maukah kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri menunaikan sholat lantas membagus-baguskan sholatnya karena merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Bushiri berkata sanadnya hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid [2/55]). Kalau para sahabat saja demikian, maka bagaimana lagi dengan orang seperti kita? Allahul musta’aan…
[2] Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang telah Allah perintahkan dalam ayat (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5) (lihat Syarh Muslim [6/531])
[3] Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain yang bersifat umum yang menyebutkan keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi orang-orang yang berjihad secara ikhlas. Demikian pula pujian-pujian yang ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar berinfak dalam kebaikan hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas karena Allah (lihat Syarh Muslim [6/531-532])
[4] Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143)
[5] Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26). Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])
[6] Tercela dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka dia pasti tidak akan mendapatkan bau -harum- surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 22)
[7] Amalan yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)
[8] Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dan dihasankan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 21)
[9] Amalan yang besar bisa berubah menjadi kecil gara-gara niat, sebagaimana amal yang kecil bisa menjadi bernilai besar karena niat. Ibnu Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Buah Keikhlasan
Di antara buah paling agung yang diperoleh oleh orang-orang yang ikhlas adalah diharamkan tersentuh api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)
Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).
Hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan la ilaha illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah Allah (ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara hadits ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -dan tidak bertaubat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya memang berhak menerima hukuman/siksa (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/46])
Selain itu, orang yang ikhlas juga akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang melakukannya… ” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan kita orang yang ikhlas.
Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan pertolongan… sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan… kita sangat memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana yang disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)
Hati yang ikhlas itulah yang selamat
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam kebid’ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])
Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya, “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)
Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Gara-Gara Tidak Ikhlas
Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang penduduk Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah menjawab, “Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah: [Yang pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”
(HR. Muslim [1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])
Hadits yang agung ini memberikan faedah bagi kita, di antaranya:
[1] Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang dan demi mendapatkan sanjungan- adalah dosa yang sangat diharamkan dan sangat berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]). Riya’ merupakan bahaya yang lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpa orang-orang salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda, “Maukah kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri menunaikan sholat lantas membagus-baguskan sholatnya karena merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Bushiri berkata sanadnya hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid [2/55]). Kalau para sahabat saja demikian, maka bagaimana lagi dengan orang seperti kita? Allahul musta’aan…
[2] Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang telah Allah perintahkan dalam ayat (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5) (lihat Syarh Muslim [6/531])
[3] Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain yang bersifat umum yang menyebutkan keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi orang-orang yang berjihad secara ikhlas. Demikian pula pujian-pujian yang ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar berinfak dalam kebaikan hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas karena Allah (lihat Syarh Muslim [6/531-532])
[4] Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143)
[5] Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26). Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])
[6] Tercela dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka dia pasti tidak akan mendapatkan bau -harum- surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 22)
[7] Amalan yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)
[8] Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dan dihasankan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 21)
[9] Amalan yang besar bisa berubah menjadi kecil gara-gara niat, sebagaimana amal yang kecil bisa menjadi bernilai besar karena niat. Ibnu Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Buah Keikhlasan
Di antara buah paling agung yang diperoleh oleh orang-orang yang ikhlas adalah diharamkan tersentuh api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)
Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).
Hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan la ilaha illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah Allah (ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara hadits ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -dan tidak bertaubat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya memang berhak menerima hukuman/siksa (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/46])
Selain itu, orang yang ikhlas juga akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang melakukannya… ” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan kita orang yang ikhlas.
NIAT YANG IKHLAS
Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalma beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba. Tidak akan ada nilainya di sisi Allah jika tidak ikhlas dalam beramal.
Niat adalah pengikat amal. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna.
Balasan yang dinikmati oleh hamba Allah yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Disamping itu akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan atau imbalan. Dipuji atau tidak sama saja.
KONSENTRASIKAN AMALMU HANYA KEPADA ALLAH
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupuan imbalan duniawi dari apa yang dapaat dia lakukan. Konsentrasi orang ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah.
Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tsb merupakan tanda-tanda keikhlasan belum sempurna. Yang ukuran nilai ibadahnya adalah duniawi. Misalnya ketika wudlu…ternyata disamping ada seoran gulaa yang cukup terkenal dan disegani, makan wudlu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan.
Hamba Allah yang ikhlas mampu beribadah secara istiqamah dan terus menerus kontinu. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya.
Seorang pembicara yang tulus tidak harus merekayasa aneka kata-kata agar penuh pesona, tetapi dia usahakn agar setiap kata-kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata-kata yang disukai Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan maknanya. Selebihnya terserah Allah, kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang Maha Kuasa menghunjamkannya ke dalam setiap kalbu.
Oleh karena itu tidak perlu terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah samasekali tidak membutuhkan rekayasa karena Dia Maha Tahu segala lintasan hati, Maha Tahu segalanya! Semakin jernih, semakin bening, dan semakin bersih segala apa yang kita lakukan atau semakain seluruh aktivitas ditujukan semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah lah yang akan menolong segalanya.
IKHLAS, RAHASIA PARA KEKASIH ALLAH
Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan,“Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“
Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia bersabda,“Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril a.s.apakah ikhlas itu?Lalu Jibril berkata,“Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab,“Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“(H.R Al-Qazwini)
Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah.
Antara lain Imam Qusyaery dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu manusia.
TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
1. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan
4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5. Tidak mudah kecewa.
Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidka harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercata dan tidak akan disia-siakan Allah.
Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.
Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.
6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
7. Tidak fanatis golongan
8. Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
9. Ringan. Lahap dan nikmat dalam beramal
10. Tidak egis karena sellau mementingkan kepentingan bersama.
11. Tidak membeda-bedakan pergaulan.
IKHLASNYA SEORANG MUQARABBIN
Dalam kitab Al Hikan, karya Syeikh Ibnu Atho’ilah tentang kedudukan seorang hamba dalam amal perbuatannya, terdapat dua tingkatan kemuliaan seorang hamba ahli ikhlas, yakni hamba Allah yang abrar dan yang muqarrabin.
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.
Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“
Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalma beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba. Tidak akan ada nilainya di sisi Allah jika tidak ikhlas dalam beramal.
Niat adalah pengikat amal. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna.
Balasan yang dinikmati oleh hamba Allah yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Disamping itu akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan atau imbalan. Dipuji atau tidak sama saja.
KONSENTRASIKAN AMALMU HANYA KEPADA ALLAH
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupuan imbalan duniawi dari apa yang dapaat dia lakukan. Konsentrasi orang ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah.
Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tsb merupakan tanda-tanda keikhlasan belum sempurna. Yang ukuran nilai ibadahnya adalah duniawi. Misalnya ketika wudlu…ternyata disamping ada seoran gulaa yang cukup terkenal dan disegani, makan wudlu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan.
Hamba Allah yang ikhlas mampu beribadah secara istiqamah dan terus menerus kontinu. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya.
Seorang pembicara yang tulus tidak harus merekayasa aneka kata-kata agar penuh pesona, tetapi dia usahakn agar setiap kata-kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata-kata yang disukai Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan maknanya. Selebihnya terserah Allah, kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang Maha Kuasa menghunjamkannya ke dalam setiap kalbu.
Oleh karena itu tidak perlu terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah samasekali tidak membutuhkan rekayasa karena Dia Maha Tahu segala lintasan hati, Maha Tahu segalanya! Semakin jernih, semakin bening, dan semakin bersih segala apa yang kita lakukan atau semakain seluruh aktivitas ditujukan semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah lah yang akan menolong segalanya.
IKHLAS, RAHASIA PARA KEKASIH ALLAH
Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan,“Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“
Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia bersabda,“Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril a.s.apakah ikhlas itu?Lalu Jibril berkata,“Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab,“Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“(H.R Al-Qazwini)
Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah.
Antara lain Imam Qusyaery dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu manusia.
TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
1. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan
4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5. Tidak mudah kecewa.
Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidka harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercata dan tidak akan disia-siakan Allah.
Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.
Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.
6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
7. Tidak fanatis golongan
8. Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
9. Ringan. Lahap dan nikmat dalam beramal
10. Tidak egis karena sellau mementingkan kepentingan bersama.
11. Tidak membeda-bedakan pergaulan.
IKHLASNYA SEORANG MUQARABBIN
Dalam kitab Al Hikan, karya Syeikh Ibnu Atho’ilah tentang kedudukan seorang hamba dalam amal perbuatannya, terdapat dua tingkatan kemuliaan seorang hamba ahli ikhlas, yakni hamba Allah yang abrar dan yang muqarrabin.
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.
Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“
Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Langganan:
Postingan (Atom)